Senin, 15 Desember 2008

MUHAMMADIYAH DAN EKONOMI KREATIF



Oleh
Mukhaer Pakkanna


Muhammadiyah adalah salah satu organisasi kemasyarakatan (ormas) yang telah memberi kontribusi signifikan bagi kemajuan bangsa. Muhammadiyah lahir 18 November 1912 di Yogyakarta dengan visi membangun masyarakat utama, yakni masyarakat mandiri, bermartabat, berkeadilan, dan berkemanusiaan.

Sebagai ormas, Muhammadiyah telah memiliki 30 juta anggota/simpatisan dengan amal usaha bidang pendidikan, yakni TK berjumlah 3.980, SD 6.728, SMP 3.279, SMA 2.776, kejuruan 101, pesantren 32; perguruan tinggi 176, dan tanah wakaf 29.808.164,60 ha. Di bidang kesehatan memiliki PKU 47 buah; poliklinik 217, klinik bersalin 82, dan akademi perawat 92. Amal usaha ini merupakan hasil mahakarya ekonomi kreatif para pendiri Muhammadiyah.

Melihat begitu banyak amal usaha Muhammadiyah itu, ada dua hal yang bisa dipetik. Pertama, Muhammadiyah lahir sebagai sebuah gerakan ilmiah dan amaliah. Artinya, teologi gerakan Muhammadiyah tidak saja berpijak pada kisaran filosofis, tapi juga berada dalam ranah aksi terlembaga. Kedua, gerakan Muhammadiyah ternyata lebih menyentuh pada aspek social services. Adanya lembaga pendidikan, kesehatan dan panti asuhan menandakan Muhammadiyah sebagai organisasi pelayan masyarakat.

Kiai Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah paham betul diperlukan sebuah institusi kreatif dalam pelayanan. Setalian dengan kemajuan zaman, pola kreativitas yang dikembangkan Dahlan selayaknya terus dikembangkan oleh pewarisnya secara progresif.

Namun, karena terjadi kelumpuhan kreativitas para pewaris Kiai Dahlan, akhirnya yang muncul nostalgia dan duplikasi. Kreativitas kemandirian dalam bentuk produk kelembagaan ekonomi kreatif kikir dilahirkan dalam rahim Muhammadiyah.


Ekonomi kreatif
Sebenarnya ekonomi kreatif menurut New England Foundation of the Arts (NEFA): ''represented by the 'cultural core.' It includes occupations and industries that focus on the production and distribution of cultural goods, services and intellectual property''. Dalam bahasa penggiat budaya, ekonomi kreatif berbasis budaya akan menjadi gelombang keempat dalam perkembangan ekonomi global setelah era ekonomi pertanian, ekonomi industri, dan ekonomi informasi.

Lebih konkretnya, menurut bahasa pemerintah, cakupan ekonomi kreatif meliputi riset dan pengembangan, software, kerajinan, seni rupa, jasa periklanan, arsitektur, desain, fashion, film, musik, seni pertunjukan, penerbitan, TV dan radio, mainan, dan video games. Produk ekonomi kreatif ini kerap dilahirkan dari hasil kreativitas budaya melalui dialektika pengalaman, pendidikan, pelatihan dan keberanian bereksperimen.

Dalam ekonomi kreatif, yang diciptakan bukan produk riil (barang), tapi produk abstrak. Produk abstrak (jasa) dilahirkan dari kreativitas ide sehingga kerap disebut knowledge economy. Lahirnya institusi pelayanan sosial oleh Kiai Dahlan pada zamannya juga merupakan produk ekonomi kreatif.

Kendati bersifat social services, Kiai Dahlan sangat yakin lembaga pendidikan, kesehatan, dan panti asuhan yang didirikannya suatu saat akan melahirkan manusia-manusia kreatif yang bisa memajukan dan menyejahterakan bangsa. Karena itu para pencipta produk ekonomi kreatif sejatinya orang-orang yang memiliki visi jangka panjang. Mereka lahir karena kemampuan pengetahuan, ide, dan daya kreasi yang bisa bernilai ekonomi tinggi.

Pewaris Kiai Dahlan
Pertanyaan, bagaimana kreativitas para pewaris Kiai Dahlan? Sebagai ormas yang memiliki segmentasi basis massa kelas menengah, selayaknya para pewaris ini memiliki produk ekonomi kreatif yang semakin bisa dibanggakan. Dengan puluhan ribu lembaga pendidikan, Muhammadiyah sejatinya mampu melahirkan manusia-manusia kreatif.

Selain memiliki lembaga pendidikan, Muhammadiyah juga memiliki puluhan ribu ranting, cabang, daerah dan wilayah menjadi modal dalam pengembangan ekonomi kreatif. Tapi, modal organisasi yang dimiliki itu belum optimal dimanfaatkan.

Produk-produk seni budaya, software, desain, hasil riset, kerajinan, dan produk berbasis pengetahuan lebih banyak dilahirkan dari organisasi di luar Muhammadiyah. Padahal, banyak penggiat ekonomi kreatif pernah mengenyam pendidikan di lembaga Muhammadiyah. Namun, mereka brain-drain karena wadah untuk pengembangan kreativitas dalam tubuh Muhammadiyah disesaki berbagai pola birokratisasi dan mekanisasi organisasi.

Selain itu, visi para elite Muhammadiyah kurang memberi wadah pengembangan ide-ide kreatif yang bernilai sosial dan ekonomi. Kurangnya respons Muhammadiyah terhadap penggiat ekonomi kreatif, akhirnya mereka mencari habitatnya untuk berkembang dan produktif di luar lingkungan Muhammadiyah.

Dalam konteks itulah, Muhammadiyah yang sudah berusia satu abad harus kembali memikirkan. Pertama, merumuskan agenda pekerjaan gelombang keempat yang akan dipacu oleh ekonomi kreatif. Kedua, para pewaris Kiai Dahlan harus diberikan wadah untuk melakukan improvisasi kreatif tanpa dikungkung oleh birokratisasi Muhammadiyah yang semakin kaku. Di sinilah lembaga pendidikan dan ranting-ranting Muhammadiyah harus dioptimalkan dalam menstimulasi kreativitas warganya.

Ketiga, mengurangi tensi dan libido politik praktis para pewaris Kiai Dahlan terutama kalangan elite dan anak-anak muda Muhammadiyah. Jika libido politik dikembangkan, hanya akan melahirkan generasi myopic, yakni rabun terhadap masa depan, yang ujungnya pelit melahirkan ide-ide ekonomi kreatif.

Penulis, Peneliti CIDES dan Wakil Rektor STIE Ahmad Dahlan Jakarta

Sumber: Republika, 15 Desember 2008

Minggu, 14 Desember 2008

EKOSISTEM KOMUNITAS KREATIF



Oleh Wanda Listiani

Keberadaan komunitas seolah menjadi cahaya di tengah krisis keuangan global saat ini. Dari hasil studi yang dilakukan Bappeda Kota Bandung (10/12/08), terdapat 5.291 komunitas kreatif di Kota Bandung. Data ini menarik karena komunitas tidak lagi dianggap sebagai tempat menghabiskan waktu (leisure), melainkan menjadi salah satu pilihan strategi bertahan hidup anggotanya di tengah kesulitan ekonomi yang mengimpit mereka.

Bandung dikenal sebagai pelopor industri desain (fashion dan tekstil) yang didominasi remaja sebagai pelaku industri dan budaya khas remaja (youth culture). Industri ini sejak 1970-an dikenal dengan kekuatan utamanya pada desain, keragaman bahan baku dan kekhususan merek, serta keunikan produk. Pertumbuhan distro dan clothing di Indonesia juga sudah mencapai 750 unit, 300 unit di antaranya tersebar di Bandung dengan pelaku usaha berumur antara 20 tahun-30 tahun.

Industri kreatif Bandung mempunyai keunikan khusus karena muncul dari komunitas. Walaupun ada juga dari industri rumahan. Berbeda dengan di Inggris, sebagai pelopor munculnya industri kreatif yang berasal dari industri rumahan (home industry). Bandung merupakan tempat yang kondusif untuk perkembangan kreativitas karena faktor toleransinya yang begitu tinggi dibandingkan dengan kota lain di Indonesia. Menurut Richard Florida (2003), tempat merupakan hal yang esensi untuk pertumbuhan ekonomi kreatif.

Berkembangnya usaha anggota komunitas menjadi industri kreatif menjadi fenomena baru bagi pertumbuhan ekonomi kreatif di Bandung. Usaha yang pada awalnya untuk pemenuhan kebutuhan anggota komunitas menjadi bisnis baru yang juga dikonsumsi masyarakat konsumen.

Jejaring komunitas

Merealisasikan ide menjadi sebuah karya atau produk, tidak mudah bagi setiap orang. Mereka memerlukan jejaring atau "pertemuan" dengan yang lain. Sumber ekonomi kreatif yang dapat lebih berkembang dalam jejaring komunitas seperti fashion (pakaian, sepatu, tas, pernak-pernik perhiasan/aksesori), desain, musik, seni pertunjukan, buku, dan penerbitan.

Perkembangan industri komunitas kreatif ini juga memberikan sisi negatifnya yaitu dominasi kelas tertentu atas kelas yang lain, monopoli, dan maraknya pembajakan karya. Pembajakan karya disikapi para pekerja kreatif dengan penciptaan karya terbaru. Pembajakan menurut salah satu pemilik distro terkenal di Bandung, dianggap sebagai sarana promosi gratis bagi distronya.

Jejaring tidak hanya terbatas antarproduk kreatif sejenis dan komunitasnya, melainkan antarkomunitas dan kota di luar Bandung lewat teknologi internet. Bnym (Day, 2006: 228) menyebutnya sebagai komunitas online. Komunitas online adalah kelompok pertemanan di mana seseorang mempunyai seperangkat kegiatan, koneksi dengan perkembangan dunia serta saling berelasi (relationships). Amitai Etzioni (Day, 2006: 15) mengidentifikasikan komunitas kreatif merupakan tempat di mana orang saling tahu dan peduli dengan yang lain. Dengan kata lain, mengadakan jaringan timbal balik dan peduli.

Mekanisme persaingan

Untuk mengatur mekanisme persaingan, pemerintah pusat telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 28 Tahun 2008 tentang kebijakan industri nasional. Kebijakan yang memberikan fasilitas insentif fiskal, insentif nonfiskal, dan kemudahan lain sesuai peraturan yang berlaku. Kebijakan yang seharusnya bersinergi dengan kebijakan pemerintah kota maupun daerah sehingga diharapkan kebijakan dalam struktur ruang metropolitan Bandung menurut MBUDP (Metropolitan Bandung Urban Development Programme) pada tahun 2015 antara lain berfokus pada, satu, pengembangan konsep dekosentrasi kegiatan perkotaan melalui peningkatan pertumbuhan di lima kota kecil, yaitu Padalarang, Soreang, Banjaran, Majalaya, dan Cicalengka. Kedua, pembatasan pertumbuhan terutama ke kawasan konservasi di bagian utara dan antara jalan tol panci dan Citarum (kawasan penyangga). Tiga, pembatasan pengembangan industri (di Batujajar, Cimahi Selatan, dan Padalarang). Empat, pengembangan jalur terbuka hijau sepanjang Sungai Citarum (Majalaya sampai ke Saguling). Lima, perlindungan terhadap kawasan Sungai Citarum dan Waduk Saguling. Enam, pengembangan kegiatan perumahan (Batujajar, Banjaran, Ciparay, Rancaekek, dan Cicalengka) dapat terlaksana.

Kebijakan struktur ruang Metropolitan Bandung 2015 selaras dengan temuan potensi ekonomi kreatif yang terkosentrasi pada enam wilayah pemetaan yaitu, pertama wilayah Bojonegara (12 sektor industri kreatif tambah sektor kuliner). Kedua, wilayah Cibeunying (14 sektor industri kreatif tambah sektor kuliner). Ketiga, wilayah Tegallega (9 sektor industri kreatif tambah wisata kuliner). Keempat, wilayah Karees (12 sektor industri kreatif tambah sektor kuliner). Kelima, wilayah Ujungberung. Keenam, wilayah Gedebage dengan masing-masing 3 sektor industri kreatif dan sektor kuliner. Penyebaran ekonomi kreatif yang merata merupakan peluang pemerintah kota menjadikan Bandung sebagai kota kreatif. Salah satu strategi membangun kluster komunitas dan memberikan insentif serta ruang berkreasi bagi mereka.

Ekosistem kreatif

Individu dalam berinteraksi di komunitas melakukan berbagai hal seperti diskusi, komunikasi, interpretasi antara satu sama lain, dan berbagi perspektif. Mereka melakukan kombinasi dan rekombinasi atau kegiatan kreatif dalam komunitas (Charon, 1998 : 68). Mereka belajar dari interaksi untuk menjadi individu kreatif, aktif, dan membentuk. Untuk itu, mereka memerlukan ekosistem yang mendukung kreativitas.

Ekosistem kreatif adalah suasana atau lingkungan yang memenuhi syarat antara lain pertama, toleransi. Toleransi yang dimaksud adalah keterbukaan atas perbedaan etnis, ras, agama, dan latar belakang hidup. Toleransi ini didukung dengan keyakinan bahwa setiap orang mempunyai kemampuan (talenta) yang unik dan kreatif. Kedua, ruang terbuka yang mempunyai fasilitas listrik dan jaringan internet gratis. Ruang semacam inilah yang disebut oleh Charles Landry (2007 : 335) dalam bukunya The Art of City Making sebagai ruang publik alternatif.

Fasilitas ruang alternatif kota mempunyai manfaat pemicu perkembangan ekonomi kreatif perkotaan di tengah krisis keuangan global. Kedua, bentuk jaminan pemerintah kota atas kebebasan berekspresi, misalnya pengadaan konser musik dan tempat berjejaring di ruang terbuka. Ketiga, sebagai upaya mengurangi tingkat kriminalitas dan pengangguran perkotaan. Terakhir, sarana dan tempat pertemuan pada sumber-sumber ekonomi kreatif baik industri maupun komunitas. Fasilitas yang semoga dapat dinikmati semua kalangan masyarakat. ***

Penulis, mahasiswa Program Doktor UGM, peneliti Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB.

Sumber: Pikiran Rakyat, 15 Desember 2008

Rabu, 10 Desember 2008

INDUSTRI KREATIF DAN KOMPETENSI PENGUASAAN TEKNOLOGI


Oleh Hendrawan Supratikno

DALAM perjalanan untuk bangkit menjadi negara maju,kesadaran tentang arti penting penguasaan teknologi sesungguhnya telah ada pada kita.

Berkali-kali kita telah menyatakan bahwa teknologi merupakan salah satu sumber utama peningkatan produktivitas yang pada ujungnya akan menentukan tingkat kemakmuran masyarakat. Sedemikian pentingnya teknologi, sampai-sampai ada masa ketika kita ingin melakukan lompatan teknologi dengan memberi prioritas pada pengembangan industri pesawat terbang. Banyak upaya telah dilakukan untuk mengembangkan industri yang di pasar dunia ini hanya dikuasai negara atau konsorsium negara-negara maju.

Seiring perjalanan waktu, kita tidak lagi mendengar gegap gempita karya anak bangsa dalam industri ini. Bahkan pernah diberitakan,pabrik pesawat terbang kita justru mengekspor panci. Pesawat terbang mungkin terlalu tinggi untuk dijangkau, maka harapan kita turunkan pada industri mobil. Negara yang mampu membesarkan industri, yang oleh Peter Drucker (1946) disebut sebagai ”the industry of the industry”, biasanya akan unggul dalam banyak industri lainnya, mengingat kaitan hulu-hilir industri ini sangat tinggi.

Keinginan besar kita tuangkan dalam rangkaian peraturan sejak 1976, seperti peraturan tentang program penanggalan (deletion program), insentif pajak berdasarkan capaian lokalisasi komponen, dan puncaknya pada Inpres Nomor 2/1996 tentang Mobil Nasional (Mobnas). Apa yang terjadi kemudian? Puluhan perusahaan yang berpredikat sebagai ATPM (agen tunggal pemegang merek) ternyata hanya sibuk bersaing sebagai pedagang mobil.

Perusahaan terbesar dalam industri ini, PT Astra Internasional, secara perlahan bahkan dipaksa principalutamanya,Toyota Motor,untuk bergerak di sektor hulu (penjualan, pembiayaan, asuransi, dan layanan purnajual),sementara sektor hilir (rancang bangun dan pabrikasi) tetap dikuasai principal.

Mungkin membuat mobil terlalu berat. Harapan kita turunkan lagi, yaitu pada industri sepeda motor, subsektor industri automotif yang luas pasarnya di Indonesia memadai untuk mencapai produksi pada skala ekonomi yang menguntungkan. Dengan permintaan pasar jutaan unit per tahunnya, pada industri ini kita bisa memperoleh keunggulan yang lebih solid.

Ketika optimisme merebak, penguasaan kita pada industri ini tiba-tiba terlepas saat terjadi krisis ekonomi hebat 1997/1998, karena ATPM yang bergerak pada industri ini satu per satu kembali jatuh ke tangan principalnya. Kita kembali kecewa karena gagal membangun industri domestik yang kuat, seperti yang terjadi di India dan China. Apakah sepeda motor juga terlalu berat bagi kita? Jika demikian, target kita turunkan lagi, yaitu industri sepeda.

Pada industri ini,kita memiliki sejumlah pemain nasional, bahkan ada yang memiliki merek kuat seperti Polygon. Kita butuh waktu untuk membuktikan apakah pada industri ini pun kita harus menuai kegagalan lagi. Akhir-akhir ini banyak kalangan berbicara tentang bangkitnya industri kreatif di Indonesia.

Industri kreatif didefinisikan sebagai: ”Industries which have their origin in individual creativity, skill and talent,and which have a potential for wealth and job creation through the generation and exploitation of intellectual property.

Yang termasuk dalam industri ini antara lain industri entertainment, periklanan dan promosi, penerbitan, kemasan, media,rumah produksi, perangkat lunak, fesyen, dan kerajinan. Data Departemen Perdagangan menunjukkan,industri kreatif memberi kontribusi sekitar 6,3% terhadap GDP nasional. Untuk mendukung kebangkitan lanjut industri ini, baru-baru ini diselenggarakan Pekan Produk Budaya Indonesia (4–8 Juni 2008).

Tidak dimungkiri, geliat industri kreatif memang sangat terasa belakangan ini. Jenis-jenis profesi baru bermunculan, seperti penata panggung,presenter,event organizer, disk jockey, mentalis, penari latar,komedian. Media massa, cetak maupun elektronik,dijejali informasi seputar selebriti. Berbagai ajang pemberian penghargaan untuk berbagai karya, dari film ke iklan, dari fotografi ke musik, dari tata rias ke kontes kecantikan, ada di mana-mana.

Sukses film Ayat-Ayat Cinta merupakan pertanda kebangkitan industri kreatif ini. Persaingan seru pada pentas industri musik,bahkan membuat kita sulit mengingat nama grup-grup pemusik dan lagu yang dibawakannya. Kita juga sulit membedakan secara jelas judul dan isi berbagai sinetron dalam tayangan televisi kita. Siapa yang menduga, bisnis nada dering dan ramal-meramal ala paranormal secara online begitu menjamur seperti sekarang.

Salah satu tantangan terbesar kita adalah merevitalisasi produk-produk budaya lokal agar mampu bersaing dengan hasil kreasi bangsabangsa lain. Bayangkan, betapa akan semarak industri batik nasional apabila batik dinyatakan sebagai busana resmi nasional menggantikan jas dalam berbagai acara formal.Betapa luar biasa bila lagu-lagu daerah menjadi bagian paketpaket pertunjukan di mal dan hotel-hotel berbintang.

Bayangkan, betapa menggairahkan menyaksikan pertunjukan wayang kulit yang bisa dikemas dalam ceritacerita pendek,berdurasi pendek dengan barisan pendukung acara yang jumlahnya lebih ekonomis,sehingga mampu bersaing dengan pertunjukan solo organ yang sering tampil pada acara pernikahan atau peresmian-peresmian. Betapa semarak apabila musik dangdut dikemas dalam pola pertunjukkan yang bernuansa jazzy dan lebih formal.

Albert Einstein pernah menulis,”imagination is more important than knowledge”. Imajinasi merupakan bahan bakar kreativitas.Kreativitas merupakan penggerak utama industri kreatif.Kebinekaan sumber daya dan latar belakang budaya kita merupakan ladang kondusif bertumbuhnya industri ini, karena pengembangan kreativitas tidak hanya membutuhkan lingkungan yang menjamin kebebasan berekspresi, tetapi juga varietas genetika yang beraneka.(*)

Penulis adalah Guru Besar FE-UKSW Salatiga; Alumnus Tinbergen Institute,Belanda.

Sumber: Seputar Indonesia, 11 June 2008

Rabu, 03 Desember 2008

REVOLUSI INDUSTRI KREATIF


Oleh Prof. Eddy Yusuf

DUNIA kini tengah memasuki era industri gelombang keempat, yaitu industri ekonomi kreatif (creative economic industry). Para pelakunya berani mengklaim kalau usaha industri ekonomi kreatif adalah industri masa depan alias fourth wave industry (industri gelombang keempat). Pertanyaannya, mengapa industri ekonomi kreatif? Industri ini telah mampu mengikat pasar dunia dengan jutaan kreativitas dan persepsi yang dapat dijual secara global tanpa harus bangun pabrik. Walt Disney di Amerika Serikat, contohnya, mereka hanya menjual lisensi, brand, dan ide kreatifnya. Pabriknya tidak perlu di AS, tetapi bisa di Cina.

Industri ekonomi kreatif mungkin belum begitu akrab di telinga orang Indonesia. Padahal kata kreatif, salah satu kata kuncinya, sering kali didengar dan diucapkan.

Suka atau tidak suka Indonesia sangat berkepentingan untuk terus memacu industri ekonomi kreatifnya. Mengapa? Karena industri ekonomi kreatif berpusat produksi di otak. Perkembangan industri ini akan membantu menghemat sumber daya alam nasional yang selain kian menipis, juga banyak menimbulkan pencemaran lingkungan.

Harus diakui, industri ekonomi kreatif Indonesia nyata-nyata telah mampu menyumbang produk domestik bruto (PDB) nasional secara signifikan. Setiap tahunnya, industri ini tumbuh sebesar 15%. Dari data statistik sepanjang tahun 2006, industri ini telah menyumbang 33,5% dari PDB. Angka ini setara dengan USD 77 miliar atau Rp 693 triliun dengan kurs Rp 9.000,00. Pada sektor manufaktur yang terkait dengan industri ekonomi kreatif di Indonesia tahun 2005 bisa menyumbang Rp 915 triliun. PDB dari sektor ini lebih besar enam kali lipat dari minyak dan gas bumi.

Persoalannya kini, bagaimana peluang industri ekonomi kreatif Indonesia ini di tataran global? Tentu saja, agar kompetitif, ada syarat yang mesti dipenuhi. Pertama, jangan sekali-kali menganggap industri ekonomi kreatif ini identik dengan kerjaan seniman. Kedua, kembangkan ide-ide kreatif yang orisinal dari dalam diri tanpa harus merisaukan kondisi persaingan global. Ketiga, pemerintah harus serius memberikan dukungan pengembangan industri ekonomi kreatif. Untuk ukuran Asia, pemerintah Uni Emirat Arab bisa jadi contoh. Mereka mempromosikan potensi pariwisata, jasa, dan investasinya dengan dukungan besar dari pelaku industri ekonomi kreatif yang berhasil memasarkan dan menjual citra serta persepsi negara itu kepada dunia.

Di Indonesia, perkembangan industri ekonomi kreatif ini masih terhambat ketiadaan pemetaan. Meski pemerintah telah berupaya memetakannya dengan mengajak kerja sama berbagai departemen (Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Kementerian Riset dan Teknologi, Departemen Komunikasi dan Informasi, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata) yang diluncurkan pada Agustus 2007 lalu, sayangnya, pemetaan itu belum menorehkan hasil.

Sebenarnya Indonesia memiliki track record yang baik. Jadi, tinggal mengembangkannya saja maksimal? Pasarnya perluas, jangan hanya berpikir untuk Indonesia saja, tetapi global.

Kalau melihat negara luar seperti Singapura dan Inggris, mereka telah memiliki pemetaan industri ekonomi kreatif sehingga industri ekonomi kreatif di sana sangat berkembang pesat. Industri ekonomi kreatif Singapura memiliki kontribusi sebesar 5% dari PDB atau USD 5,2 miliar atau sekitar Rp 47 triliun. Pada tahun 2012, pertumbuhan industri ini diperkirakan tumbuh 10%.

Di Inggris, sumbangan industri ekonomi kreatif terhadap pendapatan nasional negeri itu mencapai 8,2% atau USD 12,6 miliar dan merupakan sumber ekonomi kedua terbesar setelah perbankan dengan dua juta pekerja dan pemasukan sekitar Rp 2.188,8 triliun atau setara PDB Indonesia tahun 2003. Hal ini melampaui pendapatan negara dari sektor industri manufaktur seperti minyak dan gas. Pertumbuhannya rata-rata 9% per tahun, jauh di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi negara itu yang rata-rata 2-3% per tahun.

Sebenarnya definisi atau cakupan industri ekonomi kreatif sangat luas sebagaimana ditetapkan Inggris. Inggris dianggap barometer dunia dan negara yang paling sukses mengembangkan sekaligus mengakui kontribusi industri ekonomi kreatif. Dari data Industri ekonomi kreatif yang digulirkan negara itu, ada 13 sektor yang disebut industri kreatif. Masing-masing periklanan, arsitektur, seni, kriya, desain, mode, film, musik, pertunjukan seni, penerbitan, penelitian dan pengembangan, peranti lunak, mainan anak-anak, televisi dan radio, serta video game.

Melihat pesatnya perkembangan industri ekonomi kreatif di negara maju seharusnya membuat Indonesia tak perlu terlalu lama menunggu hasil pemetaan industri ekonomi kreatifnya. Selama adanya dukungan infrastruktur dan kelembagaan, seperti hak cipta intelektual berikut perangkat hukumnya dan penanganan pembajakan, Indonesia seharusnya bisa langsung jalan.

Kini di tengah citra negara Indonesia yang belum menggembirakan di mata internasional, kesempatan emas ini tentu tak boleh disia-siakan. Apalagi, bangsa Indonesia juga memiliki warisan kekayaan kreatif dari nenek moyangnya.

Dengan kesempatan dan modal itu, bangsa Indonesia sebenarnya sudah unggul dari segi kreativitas, inovasi, dan kewirausahaan. Inovasi merupakan proses menemukan atau mengimplementasikan sesuatu yang baru ke dalam situasi yang baru.

Kedua, kreativitas. Kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya. Sementara kreatif, menghadirkan sesuatu benda atau hal yang sebelumnya sama sekali belum ada untuk dipergunakan. Ide yang kreatif dikaitkan dengan ide yang baru paling, tidak untuk orang yang bersangkutan. Ide kreatif ini dapat melibatkan sebuah usaha penggabungan dua hal atau lebih ide-ide secara langsung.

Ketiga, wirausaha, yakni kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk melihat dan menilai kesempatan-kesempatan bisnis, mengumpulkan sumber-sumber daya yang dibutuhkan untuk mengambil tindakan yang tepat dan mengambil keuntungan dalam rangka meraih sukses. Wirausaha pada hakikatnya adalah sifat, ciri, dan watak seseorang yang memiliki kemauan dalam mewujudkan gagasan inovatif ke dalam dunia nyata secara kreatif. Contohnya adalah UMKM.

Bila disimak, modal dasar di atas telah dimiliki bangsa ini sejak lama. Jika diringkas, inti dari industri ekonomi kreatif adalah industri yang berbasis pada kreativitas, keahlian, dan bakat individu. Jika dikaitkan dengan instansi terkait di Indonesia, tentu melibatkan banyak departemen. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri telah mendeklarasikan keberadaan dan pentingnya pengembangan industri ekonomi kreatif di Indonesia. Pemerintah pun secara keseluruhan telah menggelar serangkaian event dan program yang terkait dengan industri ekonomi kreatif.

Artinya, betapa besar sebenarnya peluang usaha yang terbentang di industri ekonomi kreatif ini. Namun, tentu saja membutuhkan kreativitas dan ide orisinal pelakunya. Tidak hanya bagi pelaku, namun peranan pemerintah juga memegang peran penting dalam menyelaraskan kebijakan yang akan diambil guna mendukung pendapatan PDB. Pemerintah juga berkepentingan besar mendukung industri ekonomi kreatif ini karena mampu menyerap sedikitnya tiga juta pekerja.***

Penulis, Guru Besar Kopertis Wil. IV Jabar Banten, Pembantu Rektor I Universitas Pasundan (Unpas) Bandung, dan Wakil Ketua LP3E Kadin Jabar.

Sumber: Pikiran Rakyat Bandung.

Selasa, 02 Desember 2008

INDUSTRI KREATIF, POTENSI BESAR YANG BELUM DIPRIORITASKAN


Oleh Rachmat Gobel

Bersamaan dengan penyelenggaraan Pameran Produk Budaya Indonesia (PPBI) ke-2 pada 4-8 Juni 2008, pemerintah meluncurkan buku biru (blue print) tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif 2025. Upaya ini di antaranya digagas oleh Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu.

Ini merupakan langkah positif, karena di masa depan sektor ekonomi kreatif menjadi motor penggerak perekonomian dunia. Hal ini ditandai dengan peningkatan pertumbuhan dan peran ekonomi kreatif atau industri kreatif secara signifikan, meninggalkan sektor pertanian, industri, dan teknologi informasi.

Pasar ekonomi kreatif yang tumbuh di atas rata-rata perekonomian global membuat banyak negara, terutama negara maju, melirik ke sektor ini. Dengan tingkat pertumbuhan 5% per tahun, nilai ekonomi kreatif secara global pada 2020 diperkirakan mencapai US$6,1 triliun.

Beberapa negara Asia, seperti India, China, Malaysia, Thailand, dan Singapura secara serius mulai menggarap sektor ini. Thailand melalui Thailand Design Center, misalnya, tengah 'berjibaku' untuk mengangkat sektor ekonomi kreatif. Begitu juga India lewat industri film dan musiknya.

Singapura bahkan telah mereposisi perekonomiannya dan berambisi menjadi pusat ekonomi kreatif di Asia. Pada 2005, Perdana Menteri Lee Hsien Long meluncurkan tiga gerakan nasional, yakni Design Singapore, Media 21, dan Rennaisance City 2.0.

Melalui tiga program itu, Singapura berambisi menjadikan sektor ekonomi kreatif sebagai tulung punggung pertumbuhan ekonominya dengan target kenaikan menjadi dua kali lipat dalam tujuh tahun ke depan.

Indonesia sebetulnya menyimpan potensi besar di sektor ekonomi kreatif, tetapi belum banyak disentuh oleh kebijakan dan digarap secara optimal. Sebagai bangsa yang memiliki keragaman budaya, Indonesia kaya akan warisan tradisi dan seni. Ini adalah modal dasar yang besar untuk masuk dalam kancah ekonomi kreatif global.

Di Indonesia, peranan sektor ekonomi kreatif terhadap perekonomian nasional selama ini cukup besar, khususnya dalam penciptaan lapangan kerja. Sumbangan sektor ini terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2002-2006 rata-rata Rp104,64 triliun dan menyerap 5,4 juta tenaga kerja.

Selain mempunyai kemampuan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, yang menarik adalah sebagian besar dari mereka yang bergerak di sektor ini merupakan kelompok UKM dengan produktivitas Rp19,5 juta per pekerja per tahun. Angka ini jauh di atas rata-rata produktivitas nasional sekitar Rp18 juta per tahun.

Dengan karakteristik seperti ini, pengembangan ekonomi kreatif akan menjadi sangat strategis dalam memecahkan masalah besar yakni pengangguran dan kemiskinan yang begitu tinggi.

Oleh karena itu, saat menyusun Visi 2030 dan Roadmap Industri 2010, Kadin Indonesia memasukkan sektor ini sebagai salah satu industri yang diunggulkan sebagai penggerak dan pencipta lapangan kerja serta menurunkan angka kemiskinan.

Ekonomi kreatif adalah sebuah proses peningkatan nilai tambah hasil dari eksploitasi kekayaan intelektual berupa kreativitas, keahlian, dan bakat individu menjadi produk yang dapat dikomersialkan.

Dalam buku biru yang baru diluncurkan itu, terdapat 14 subsektor ekonomi kreatif, di antaranya periklanan, kerajinan, pasar barang seni, fashion, seni pertunjukan, film, animasi, dan penerbitan.

Karakteristik unik dari ekonomi kreatif adalah fokus persaingan yang menitikberatkan pada desain produk, bukan pada harga.

Oleh karena itu, ada beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan, yaitu kemampuan desain, teknologi produksi, akses pemasaran, dan pembiayaan. Sayangnya, iklim usaha saat ini belum sepenuhnya mendukung perkembangan sektor ini, padahal potensi dan modal yang dimiliki sangat besar.

Saat ini, kita memiliki banyak desainer, arsitek, dan pekerja ekonomi kreatif yang berbakat dan tidak kalah dibandingkan dengan negara lain. Sebut saja, Castle Production di Pasar Baru, Jakarta, yang menghasilkan animasi kelas dunia Carlos the Catterpilar dan The Jim Elliot Story.

Kita juga memiliki Sibarani Sofyan, seorang urban desiner muda yang berbagai karyanya bertebaran di Malaysia, China, dan Dubai. Ada pula Christiawan Lie, komikus GI Joe, yang sedang naik daun di Amerika Serikat, atau Budi Pradono, arsitek muda, yang mendapatkan penghargaan Architectural Review.

Sinergi

Diperlukan perhatian yang lebih besar dari semua pihak agar potensi di sektor ini tidak terbuang sia-sia, sehingga kemudian dimanfaatkan negara lain.

Pemerintah perlu memanfaatkan semua potensi yang ada dengan mendorong kalangan perusahaan besar untuk mengembangkan masyarakat ekonomi kreatif di lingkungan mereka. Sekadar contoh, lomba desain aksesori kendaraan yang diselenggarakan PT Toyota Astra Motor dengan melibatkan perguruan tinggi dan memberi kesempatan kepada pemenang untuk mengaplikasikan karyanya secara komersial merupakan langkah yang patut dilanjutkan dan dikembangkan.

Untuk mengakselerasi, pemerintah seharusnya memberi perhatian lewat insentif agar semakin banyak perusahaan yang ikut berperan aktif dalam mengembangkan sektor ini melalui pola kemitraan.

Berdasarkan pengalaman Kadin Indonesia, membangun interaksi dan membina pelaku industri kreatif di sejumlah daerah, seperti di Sidoarjo dan Yogyakarta lewat pola kemitraan, merupakan cara yang sangat efektif.

Pengalaman juga menunjukkan bahwa faktor kelembagaan menjadi begitu penting, tidak hanya dalam hal pemasaran, tetapi juga dalam pengembangan desain. Selama ini, pelaku ekonomi kreatif lebih banyak bergerak secara underground dan independen.

Oleh karena itu, kita sering mendengar banyak desainer yang kebingungan mencari manufaktur yang bisa membantu mewujudkan ide brilian mereka.

Para desainer juga sering kesulitan mencari modal kerja, karena mereka ditolak perbankan. Mereka umumnya tidak memiliki aset tetap kecuali ide-ide kreatif.

Dalam kaitan kebijakan yang ada, sangat mungkin bagi pemerintah untuk memasukkan pengembangan industri kreatif dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Madani yang dikoordinasi oleh Kantor Menko Kesra.

Agar tidak kehilangan peluang, pengembangan ekonomi kreatif? harus menjadi prioritas serta terus menyempurnakan cetak biru yang ada. Hal ini di antaranya dengan memasukkan target kuantitatif. Ini sangat penting agar sasaran ke depan menjadi lebih jelas.***

Bisnis Indonesia, 16 Juni 2008

Senin, 01 Desember 2008

MENUJU TERWUJUDNYA EKONOMI KREATIF DENGAN HKI


Direktur Kerjasama Internasional, Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Hukum & Hak Asasi Manusia Indonesia, Dr. Ansyori Sinungan, SH, LLM pada Pelatihan Hak Kekayaan Intelektual bagi Akademisi dan Praktisi, di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, pada 26 Juni 2008 mengatakan bahwa sebuah negara yang kaya akan sumberdaya alam (SDA) akan kalah dalam bersaing dengan negara yang miskin SDA-nya tetapi kaya akan Hak Kekayaan dan Intelektual (HKI). Ungkapan tersebut menunjukkan betapa pentingnya HKI sebagai piranti hukum untuk melindungi produk-produk dan kekayaan ekonomi negara untuk kesejahteraan bangsa.

HKI yang sudah berkembang sejak 350 tahun silam di negara-negara maju, tetapi di Indonesia baru dikembangkan pada akhir-akhir ini saja, merupakan hak kekayaan yang terkait dengan perdagangan internasional. Karena sudah menjadi bagian dari WTO (World Trade Organization), maka Indonesia tidak lagi bisa seenaknya mengabaikan aturan-aturan yang berlaku dalam perdagangan bebas.

Dijelaskan oleh Dr Ansyori, sudah banyak produk industri dan kekayaan alam Indonesia yang dirugikan berkaitan dengan persoalan HKI, baik yang berkaitan dengan perdagangan nasional maupun internasional. Misalnya, ditolaknya Kopi Toraja dari Tanah Toraja serta Kopi Gayo dari Aceh di Jepang, adalah karena kedua produk tersebut sudah didaftarkan di negara itu oleh pihak lain. Kasus lain yang berkaitan dengan permasalahan HKI adalah ukiran Jepara yang didaftarkan oleh orang Inggris, Reog Ponorogo yang sempat menghebohkan, batik, dan hak cipta lagu. Kasus-kasus semacam itu dipandang sebagai suatu kerugian, hanya karena karya inovasi dan kreativitas yang tidak terdaftar dan dilindungi oleh HKI.

Sebaliknya, jika hasil suatu kreativitas/inovasi telah dilindungi HKI dan terdaftar secara internasional, maka akan timbul peluang untuk peningkatan nilai ekonomi, misalnya melalui penjualan dengan sistem waralaba. Dengan cara ini, maka secara periodik pemegang hak kreatifitas berhak menerima fee dan keuntungan dari hasil inovasinya. “Artinya hak cipta itu identik dengan perusahaan industri,” katanya.

Ekonomi Kreatif

Sementara itu Dirjen HKI Depkumham Dr. Andy N. Sommeng menambahkan, adalah penting bagi negara seperti Indonesia ini untuk memberikan perhatian kepada persoalan HKI. Hal itu menjadi lebih penting lagi bila menyangkut kekayaan sumber hayati dan biodiversitas Indonesia yang menempati urutan ke dua setelah Brasil. “Negeri kita ini mempunyai mega biodiversity, jadi kita wajib melindungi sumberdaya hayati dengan HKI dan knowledge,” kata Dirjen HKI.

Realita demikian tidak bisa dielakkan, terutama pada era perdagangan bebas. Pada era ini tidak dikenal batas pemerintahan dan geografis suatu negara, dan pembatas yang ada hanyalah berupa kemampuan bersaing antar-pengusaha, baik di pasar dalam negeri dan internasional. Citra budaya proteksi suatu negara terhadap kepentingan dalam negeri, yang pernah menjadi argumen untuk meningkatkan kemampuan ekonomi nasional bagi kesejahteraan masyarakatnya, telah bergeser kepada citra budaya baru, yaitu pentingnya meningkatkan kapabilitas SDM dan Iptek bangsa sebagai prasyarat bagi berhasilnya pembangunan nasional.

“Globalisasi akan menjadi milik bangsa Indonesia jika kita berhasil membangun kebudayaan bangsa yang bertumpu pada peningkatan kemampuan bersaing dan bukan ketergantungan pada sumber daya alam atau proteksi pemerintahnya, “imbuh Dr. Andy N. Sommeng.

Peningkatan kreativitas dan inovasi dalam pembangunan ekonomi Indonesia merupakan hal yang sejalan dengan program pemerintah untuk mengedepankan ekonomi kreatif sebagai salah satu pilar ekonomi Indonesia. Hal ini ditandai dengan adanya blue-print Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia tahun 2009-2025 dan Pengembangan 14 Sektor Ekonomi Kreatif yang diserahkan Menteri Perdagangan RI kepada Presiden, awal Juni 2008 lalu.

Untuk itu, Pemerintah Indonesia telah menyusun Kebijakan Nasional Kekayaan Intelektual (KNKI) sebagai petunjuk prinsip kepada seluruh pemangku kepentingan HKI (IP stakeholder) dalam membangun dan mempromosikan kekayaan intelektual sebagai alat pembangunan sosial, ekonomi dan teknologi. Tujuan utama KNKI adalah untuk menjadikan kekayaan intelektual sebagai mesin baru pertumbuhan (new engine of growth) dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial. []

Rabu, 26 November 2008

KALANGAN MUDA MASUK INDUSTRI KREATIF


Sejumlah kaum muda masuk industri kreatif. Langkah ini didorong ide dan pemikiran baru bisnis yang dimiliki mereka. “Industri kreatif lebih didominasi oleh pengusaha muda karena memang trennya kreativitas pengusaha muda jauh lebih tinggi, inovasi dan keberanian untuk mengambil new concept, “ kata Erwin Aksa, ketua BPP Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) kepada WartaEkonomi. Berikut petikannya.

Saat ini makin banyaknya pemuda yang mendirikan usaha, dan ternyata berhasil. Apa pendapat Anda?

Dalam masa sekarang ini sudah banyak pemuda-pemuda yang memiliki kreativitas, inovasi dan semangat yang tinggi, dan sudah banyak menguasai sektor-sektor usaha dalam negeri. Khususnya di sektor keuangan didominasi oleh kaum muda. Jadi sektor itu membutuhkan kreativitas yang tinggi, dan apa yang terjadi sekarang bahwasanya kaum muda sudah mulai bangkit untuk mengambil alih berbagai sektor. Sektor mineral, perkebunan, minning oil dan gas sudah banyak didominasi oleh pengusaha muda yang tentunya memiliki akses kedunia perbankan juga memiliki akses kepada manajemen yang lebih baik.

Pertumbuhan pengusaha muda antara tahun 2007-2008 bagaimana?

Enterpreuner-enterpreuner muda pertumbuhannya cukup baik, dan ada beberapa yang berhasil mengambil posisi dan proyek-proyek strategis, bahkan di tahun ini salah satu anggota HIPMI Sandiaga Uno dianugerahi gelar enterpreuner of the year, dan sudah banyak keberhasilan yang diciptakan pengusaha muda, memang yang menjadi persoalan hari ini adalah kuantitasnya yang tidak terlalu banyak, oleh karena itu kita berusaha mendorong agar kuantitas pengusaha muda yang bisa masuk ke kancah nasional bisa bertambah dari tahun ke tahun.

Karakteristik pengusaha muda sekarang dan jaman dulu?

Dari tahun ke tahun misi dari pengusaha muda tetap sama, yaitu bagaimana membangkitkan dan menyemangati pengusaha untuk bisa berkarya dan menciptakan value untuk negara. Dan apa yang kita lakukan hari ini adalah memotivasi lebih banyak lagi pengusaha, skup nya diperluas bukan hanya di kota besar tapi juga di kota kecil ke daerah pedalaman, supaya kita bisa mendorong dan memberi kesempatan bagi pengusaha muda untuk bangkit.

Kalau dikatakan enterpreuner muda sekarang lebih beruntung karena aksesnya terbuka, pengalaman dan jaringan yang baik bagaimana menurut Anda?

Sekarang kompetisi memang lebih besar lebih banyak dan lebih hebat, namun tentunya kesempatan juga lebih luas. Beda dengan 10-15 tahun lalu dimana kompetisi antara pengusaha tidak seramai hari ini. Karena pertama, pengusahanya dulu belum banyak, kedua kesempatannya juga terbatas. Tapi kalau sekarang persaingannya lebih besar namun imbang dengan kesempatan yang juga lebih banyak. Sekarang yang menjadi tantangan dan kunci adalah informasi, siapa yang dapat akses informasi, dan jaringan yang bisa mengakses ke informasi itu maka akan memenangkan pertandingan hari ini.

Kebanyakan enterpreuner muda mengambil bidang ekonomi kreatif, pendapat Anda?

Industri kreatif merupakan industri baru di negara kita, pertama kita lihat industri kreatif sudah ambil bagian dalam perekonomian kita walaupun belum sebesar industri sektor riil atau manufaktur. Tapi industri kreatif lebih didominasi oleh pengusaha muda karena memang trennya kreativitas pengusaha muda jauh lebih tinggi, inovasi dan keberanian untuk mengambil new concept terobosan sangat dituntut di industri kreatif karena kalau tidak punya terobosan tentunya bukan industri kreatif. Nah industri yang terkait dengan industri kreatif apakah itu event organizer, atau industri berbasis kreativitas dan seni memang harus didasari dengan inovasi dan kreativitas baru. Dan kebanyakan didominasi oleh enterpreuner muda yang selalau memperbaharui know how nya, mendapat informasi dari mana saja.

Peluang industri kreatif?

Peluangnya besar karena basisnya human resources atau creativity artinya sangat sulit akan the end. Jadi resistensi kita tinggi sekali terhadap produk impor, jarang barang-barang kreatif yang kita impor, karena akan berbeda tastenya, culturenya, biasanya orang-orang dlam negeri yang tahu apa yang dibutuhkan market dalam negeri. Industri ini prospeknya luar biasa, banyak perusahaan asing bergerak di kreativitas yang awal mulanya masuk ke indonesia belum diminati tetapi setelah bertahun-tahun saya melihat sudah banyak profesional yang muda yang tadinya bekerja di perusahaan kreatif asal luar negeri sudah mulai bikin usaha sendiri yang berkompetisi dengan perusahaan tempat mereka bekerja sebelumnya. Jadi kalau kita melihat dominasi asing di industri asing, sudah mulai tersaingi dengan industri lokal, yang pengusahanya juga lulusan perusahaan asing tersebut. Nah ini trennya, dan ini akan berakibat perusahaan asing akan memiliki ruang yang cukup.

Pandangan Anda tentang pengusaha muda yang main di sektor lain selain industri kreatif, apa yang jadi modal mereka?

Yang pertama biasanya di sektor padat modal karena legacy dari orangtua atau keluarga, tidak banyak pengusaha muda yang memulai dari nol. Karena pengusaha muda ada tiga jenis, pertama karena dia lahir didunia usaha, artinya dia generasi kedua atau ketiga. Kedua, karena memang lingkungan, lahir dari lingkungan pengusaha, ketiga pengusaha karena dididik untuk jadi pengusaha. Jadi kalau kita lihat dari pengusaha yang lahir dari dunia usaha sendiri biasanya mereka hanya meneruskan usaha yang telah dibangun oleh keluarganya. Sementara yang profesional yang lahir dari lingkungan itu sendiri biasanya menciptakan usaha yang tadinya mereka bekerja di sektor yang sama. Biasanya mereka yang bekerja di bisnis advertisement, biasanya mereka bekerja hanya 1-2 tahun lalu keluar dan membuat perusahaan sendiri. Nah yang ketiga karena memang dididik untuk jadi pengusaha, biasanya mereka masuk dalam mikro bisnis baru seperti jual beli HP, bisnis yang modalnya tidak terlalu besar.

Di Indonesia punya budaya paternal yang kental, hal ini mengganggu tidak?

Dunia usaha ada yang berasal karena keturunan jadi mereka melanjutkan usaha orang tuanya, namun biasanya mereka memang sudah dibuat oleh orang tuanya dan mereka hanya melanjutkan bukan menciptakan perusahaan tersebut. Biasanya setelah dia membawa nilai baru dalam perusahaan, misalnya ingin membawa dan memperbaiki visi misi organisasi dan memodernkan semuanya baru mereka bisa dilepas oleh sang orangtua. Tapi memang sang founder harus pandai juga bagaimana mengkader penerusnya supaya benar-benar eksistensi perusahaan bisa dijaga, dan tongkat estafet bisa terus berjalan. Supaya anggapan generasi ketiga hanya menghancurkan menjadi anggapan yang salah.

Menurut Anda sebagai ketua HIPMI apakah perlu regulasi dari pemerintah untuk melindungi semangat enterpreuner muda atau diserahkan saja supaya pengusaha muda ini berjuang sendirian?

Pasar bebas sangat baik dan menguntungkan pengusaha muda karena pasar bebas ini membuat kita lebih kreatif dan efisien dan lebih berinovasi cuma memang banyak hal yang harus kita cermati karena memang pengusaha Indonesia sedang menghadapi persaingan dengan negara seperti China yang memiliki keunggulan yang tidak dimiliki negara kita. Misalnya keunggulan dalam hal infrastruktur, di kita sangat jelek dan tidak membantu sektor usaha bahkan daya saing kita rendah karena efisiensi infrastruktur kita rendah sekali. Selain itu perbankan kita tidak memberi satu dorongan dari segi moneter, yang saya lihat langsung adalah suku bunga yang di negara lain suku bunga masih sekitar 2% sementara kita demandingnya bisa sampai 17%. itu mengakibatkan kita harus menyediakan margin yang lebih tinggi ketimbang kawan-kawan yang di China sana.

Makanya harga-harga kita harus lebih tinggi, sekitar 10-15% ketimbang barang-barang yang ada di China. Ini mengakibatkan kita tidak bisa berkompetisi karena mereka dengan mudahnya menjual barang-barang murah. Maka kita harus mampu berdaya saing lebih tinggi, kalau kita sudah berusaha berkompetisi dengan meningkatkan kualitas sementara pemerintah tidak memberi proteksi pasar kita dari serbuan produk asing tentunya kita tidak punya kemampuan yang besar. Karena di China mereka diberi insentif, oke kita memang tidak bisa dipenuhi pemerintah tetapi paling tidak suku bunganya bisa diberikan special rate bagi pengusaha muda supaya kita punya kemampuan ekspansi yang lebih besar dan cepat karena kalau dibebani bunga maka akan lebih besar beban bulanan dalam neraca cashflow mereka, akhirnya perusahaan yang memiliki akses di sektor keuangan yang lebih besar akan lebih cepat ketimbang teman-teman kita yang UMKM dan didominasi oleh pengusaha baru yang aksesnya terbatas.

Harus ada kebijakan yang diberikan pemerintah bahwa sektor UMKM yang didominasi pengusaha muda bisa growth. Memang tidak semua orang bisa berdagang batubara atau sawit tetapi seluruh pengusaha kita punya kemauan untuk berdagang, misalnya kebisaan membuat produk atau ide, nah yang seperti ini harus didukung dengan suku bunga yang murah. Makanya saya katakan kita harus melakukan intervensi pada kebijakan moneter supaya pengusaha muda bisa dapat akses permodalan dan sumber uang yang murah. HIPMI sendiri pertama memberi motivasi kepada pelajar dan mahasiswa supaya mereka melihat bahwa dunia usaha adalah alternatif terbaik untuk bisa mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik. Artinya jangan selalu berpikir untuk jadi profesional atau pegawai yang sangat dibatasi oleh income yang sudah ditetapkan, karena menjadi pengusaha tidak ada limit. Makin besar kreativitas dan semangat serta kerja keras maka hasilnya akan jauh lebih besar ketimbang menjadi pegawai.

Sumber: Warta Ekonomi, 20-10-2008

Senin, 24 November 2008

ADAKAH INDUSTRI KREATIF?


Oleh Anwari WMK


Di tengah karut-marutnya perekonomian nasional, ternyata ada seorang pejabat tinggi negara yang berbicara dengan aksentuasi meyakinkan tentang segala sesuatu dalam kaitan konteks dengan industri kreatif di Indonesia. Seakan, industri kreatif bakal tumbuh dengan sendirinya berlandaskan kekuatan inovatif yang inherent dalam perekonomian nasional.

Dalam kuliah umum di Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu berbicara secara meyakinkan tentang perkembangan industri kreatif di Indonesia. Bahkan, industri kreatif yang ada saat ini dieksplisitkan sebagai bagian penting perekonomian Indonesia. Industri kreatif, menurut Menteri Perdagangan, mampu memberikan kontribusi sebesar Rp 104,6 triliun (6,3%) dari produk domestik bruto (lihat editorial, “Budaya dan Industri Kreatif” di Kompas, 8 September 2008, hlm. 6).

Ini berarti, ilmu pengetahuan dan teknologi diasumsikan telah terintegrasi dengan realitas yang ditengarai sebagai elemen fundamental pembentuk industri kreatif. Padahal, dalam kenyataan sesungguhnya, perekonomian Indonesia masih belum sepenuhnya mampu mewujudkan industri kreatif, akibat lemahnya aspek kelembagaan. Karena itu, setiap pembicaraan berkenaan dengan industri kreatif mutlak untuk ditelaah secara kritis.

Dengan outstanding pemikiran model knowledge economy, Mari Elka Pangestu menyinggung dua dimensi yang terkait erat dengan industri kreatif di Tanah Air. Pertama, industri kreatif sedemikian rupa diasumsikan berfungsi sebagai faktor yang mampu mempercepat terjadinya pengurangan jumlah penduduk miskin di Indonesia. Lantaran fleksibel menyerap lapangan kerja, industri kreatif dalam konteks ini diposisikan sebagai pilar pengentasan kemiskinan.

Kedua, perguruan tinggi atau universitas diandaikan telah memiliki kesiapan menyambut era industri kreatif. Sehingga dengan demikian, perguruan tinggi atau universitas diasumsikan benar-benar memiliki kesiapan memperkuat posisi perekonomian nasional Indonesia melalui kemunculan industri kreatif (Kompas, 6 September 2008). Sungguh pun begitu, secara substansial, kita harus hati-hati dan waspada membaca pernyataan Menteri Perdagangan itu. Sebab, boleh jadi, apa yang dikatakan Menteri Perdagangan itu hanyalah sebuah utopia atau impian yang tak memiliki kejelasan basis keunggulan.

Benar bahwa di Indonesia dewasa ini terbentuk formasi industri kreatif. Bahkan, formasi tersebut mencakup 14 subsektor industri, yaitu periklanan, arsitektur, pasar barang seni, kerajinan, desain, fashion, permainan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan piranti lunak, radio dan televisi, riset dan pengembangan, serta film, video, dan fotografi. Hanya saja, formasi industri kreatif itu, perkembangannya ke depan sangat ditentukan oleh faktor sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Ini berarti, sangat besar peran perguruan tinggi atau universitas dalam hal memasok SDM berkualitas, persis sebagaimana dibutuhkan oleh kalangan industri kreatif.

Masalahnya kemudian, benarkah perguruan tinggi atau universitas dewasa ini benar-benar berdiri sebagai avant garde terciptanya SDM berkualitas? Ataukah perguruan tinggi dan universitas malah mencetuskan kendala ke arah penguatan indusrti kreatif?

Pertanyaan ini bukan sesuatu yang mengada-ada. Tak pelak lagi, inilah dua pertanyaan yang bersifat kritikal. Dalam kenyataan sesungguhnya di lapangan, perguruan tinggi atau universitas sesungguhnya belum sepenuhnya siap berperan sebagai pilar pendukung untuk menciptakan keunggulan kompetitif bagi industri kreatif. Ini karena, universitas sendiri terbentur masalah internal saat diharapkan mampu mendukung penguatan industri kreatif. Sebuah pemberitaan menyebutkan, bahwa 60 ribu dari 120 ribu dosen (50,65%) di berbagai universitas di Indonesia tidak layak mengajar, karena belum memenuhi standar kompetensi sebagai pengajar tingkat universitas (Seputar Indonesia, 4 September 2008, hlm. 5). Tragisnya lagi, dosen-dosen yang tak berkualitas itu kemampuan akademiknya setara dengan guru Sekolah Dasar atau SD (Seputar Indonesia, 5 September 2008, hlm. 5).

Dengan latar belakang persoalan ini timbul pertanyaan yang bersifat menggugat: bagaimana mungkin dengan jebloknya kualitas dosen semacam itu universitas mampu menjadi basis tegaknya industri kreatif di Indonesia?

Pada satu sisi, memang sudah saatnya bagi Indonesia mengembangkan industri kreatif. Kekayaan budaya dan kemajemukan penduduk merupakan realisme yang dapat dikembangkan lebih lanjut untuk menciptakan keunggulan ekonomi melalui kehadiran industri kreatif. Tapi di lain sisi, Indonesia berhadapan dengan masalah institusionalisasi pengembangan SDM berkualitas. Potensi industri kreatif, dengan sendirinya, ditelikung oleh rendahnya kualitas SDM, akibat lemahnya universitas. Dengan demikian pula arah pengembangan industri kreatif ke depan tidak harus bergantung pada kemampuan universitas dalam hal menghasilkan SDM berkualitas. Dengan kata lain, niscaya bagi industri kreatif untuk menemukan SDM berkualitas dari luar kelembagaan universitas.

Apa yang disebut “komunitas kreatif” dan “jenius lokal” sudah saatnya untuk diperhatikan secara saksama sebagai pilar pendukung kemajuan industri kreatif . Hal mendasar yang patut digaris bawahi dalam konteks ini ialah “komunitas kreatif” dan “jenius lokal” diandaikan sebagai suplemen atau pengganti SDM berkualitas yang tak sepenuhnya dapat dipasok oleh kelembagaan universitas. Tanpa bermaksud melecehkan peran penting universitas, apa boleh buat, harus dikatakan dengan tegas sejak sekarang, bahwa komunitas kreatif dan jenius lokal itulah yang menjadi tumpuan harapan mewujudkan industri kreatif di Indonesia.

Apa yang dimaksud dengan komunitas kreatif ialah terbentuknya kesadaran kolektif yang melibatkan sekelompok orang untuk menghasilkan jasa dan komoditas yang sepenuhnya berpijak pada inovasi dan kreatifitas. Komunitas seperti ini muncul di banyak tempat di Indonesia, terutama di wilayah-wilayah tujuan wisata, seperti Yogyakarta dan Bali. Di kawasan-kawasan inilah industri kreatif menemukan tempat persemaian secara subur. Jenius lokal yang dimaksudkan adalah bakat-bakat perorangan yang mampu menciptakan kreasi-kreasi unik dan layak dikembangkan sebagai industri.

Baik industri periklanan, penerbitan dan lain-lain, sangat mungkin dipenuhi oleh para jenius lokal. Mengingat para jenius lokal ini lebih mengandalkan bakat ketimbang formalitas, maka harus ada upaya pemetaan terhadap keberadaan mereka. Hal minimal yang harus ada ialah mempermudah terjadinya integrasi para jenius lokal ke dalam totalitas gerak dinamik industri kreatif.

Sungguh pun demikian, tetap harus ada pengakuan secara jujur, bahwa pihak universitas yang paling relevan mempersiapkan SDM berkualitas demi memajukan industri kreatif. Penjelasan serba sekilas terhadap komunitas kreatif dan jenius lokal di atas sepenuhnya bertitik tolak dari posisi universitas yang sejauh ini tidak ideal. Artinya, ada kebutuhan yang sangat besar bagi bangsa ini untuk melakukan revitalisasi peran universitas. Agenda pokok dari revitalisasi itu adalah terciptanya universitas riset di Indonesia. Inilah model universitas yang mampu melakukan upaya utilisasi ilmu pengetahuan untuk kemajuan ekonomi dan sosial (lihat Anwari WMK, UGM: Menuju Universitas Penelitian, Jakarta: Khanata-Pustaka LP3ES Indonesia, 2006, hlm. 80-105).

Dengan demikian, jelas sudah duduk perkara industri kreatif. Bahwa, eksitensi dan kontinuitas industri kreatif dalam realitas Indonesia dideterminasi oleh ada tidaknya kontribusi universitas. Hal lain di luar universitas yang berperan memasok SDM ke arah penguatan industri kreatif hanyalah elemen yang bekerja secara ad hoc. Sayangnya, kita masih harus menunggu waktu tuntasnya revitalisasi universitas. Kapan revitalisasi itu dimulai? Atau sama sekali tak pernah dimulai?

Sumber: analisis-berita.com

Minggu, 23 November 2008

MENYEMAI TOLERANSI, MENGEMBANGKAN EKONOMI KREATIF


Ekonomi kreatif, tulis John Howkins dalam The Creative Economy: How People Make Money from Ideas (2001), adalah sebuah analisis komprehensif tentang ekonomi baru yang didasarkan pada masyarakat kreatif, industri kreatif, dan kota kreatif. Lima tahun setelah buku Howkins terbit, Richard Florida dkk meluncurkan karya serupa berjudul The University and the Creative Economy (2006). Buku ini menekankan pentingnya peran universitas sebagai penyemai nilai-nilai toleransi yang bermanfaat bagi pengembangan ekonomi kreatif. Begitu urgennya kreatifitas, Florida dengan tegas memaklumkan, bahwa kelas kreatif baru telah menjadi kelas dominan dalam masyarakat Amerika.

Esensi Toleransi

Dalam perspektif ekonomi kreatif, toleransi dipahami sebagai kesediaan secara sadar, cerdas, dan terbuka untuk menerima masukan, saran, ide, bahkan perbedaan terutama yang berkaitan dengan rancang bangun dan disain sebuah produk ekonomi. Menurut Florida, toleransi berarti menjadi terbuka terhadap perbedaan keberagaman manusia dan ide. Masih dari sudut pandang ekonomi kreatif, toleransi mencakup pula kehendak secara sadar untuk memberikan atensi atau perhatian dan empati kepada gagasan atau ide yang datang dari luar meskipun tidak harus menerimanya. Sebagaimana dikatakan Davenport dan Beck, bahwa pengelolaan pengertian dan atensi kini telah menjadi faktor determinan bagi keberhasilan usaha.

Mengapa toleransi penting bagi pengembangan ekonomi kreatif? Jawabnya ada dua. Pertama, karena toleransi membuka kemungkinan seluas-luasnya bagi masuknya gagasan, pikiran, disain atau rancang-bangun baru yang bernilai ekonomi dari luar. Ini sangat penting bagi pengembangan ekonomi kreatif karena mendorong lahirnya kreasi-kreasi, disain, dan produk baru. Kedua, karena ekonomi kreatif itu sendiri memandang kekuatan kreativitas manusia sebagai kendaraan yang membawa pada pencapaian tujuan. Dengan toleransi, kreativitas yang diperoleh dari hasil olah pikir manusia dapat diperbarui secara terus-menerus. Dan, pembaruan hanya bisa terjadi jika terbuka pintu seluas-luasnya bagi masuknya nilai-nilai positif dari luar.

Dengan diberikannya tempat terhormat bagi toleransi dalam ekonomi kreatif, maka dengan sendirinya ekonomi kreatif menutup diri bagi masuknya faham in the making, sebab dengan faham ini, sebuah kreasi tangan-tangan terampil akan berhenti menjadi wacana bahkan tertutup bagi masuknya ide atau disain dari luar ketika ia telah mencapai fase sebagai sebuah produk kreatifitas. Dengan menolak faham in the making, tercipta sebuah konsensus bahwa pintu toleransi dalam berkreasi menciptakan beragam produk bernilai ekonomi harus tetap dibuka lebar-lebar. Konsensus ini sekaligus menegaskan bahwa toleransi merupakan aspek terpenting pendorong kreatifitas yang tak dapat disepelekan segitu saja.

Mungkin dapat dikatakan, toleransi telah menjadikan ekonomi kreatif sebagai "ruang publik" dalam pengertiannya yang terbatas karena di dalamnya aneka kreasi, gagasan, dan rancang bangun dari berbagai kalangan dipertemukan guna menciptakan sinergi positif demi terwujudnya produk ekonomi kreatif berkualitas tinggi.

Peran Universitas

Universitas atau perguruan tinggi tidak hanya memiliki mekanisme yang membantu pengembangan ekosistem inovasi, tetapi juga berkontribusi pada penggemblengan talenta dan mempromosikan toleransi dan keberagaman. Ahli sejarah ekonomi Joel Mokyr dan pakar psikologi sosial Simonton mencatat, bahwa seluruh masyarakat, sepanjang sejarah, cenderung berkembang pesat ketika mereka terbuka dan selektif memilih yang terbaik (eclectic). Sebaliknya, mereka mengalami stagnasi sepanjang periode mereka memutuskan untuk memencilkan diri dan bertahan pada kejumudan, seperti yang dialami China, Jepang, dan negara-negara Muslim Timteng di masa lalu. Sejumlah studi menunjukkan, bahwa orang-orang berbakat dan kreatif menyukai keberagaman sosial dan opsi-opsi budaya. Keterbukaan pada ide atau menjadi kreatif adalah puncak tertinggi dari talent attraction dan kesuksesan ekonomi.

Universitas, menurut Florida, mencatat sejarah panjang sebagai pusat keberagaman dan toleransi. Universitas dan masyarakat universitas bahkan telah lama menjadi tempat yang menjamin kebebasan berbicara, berekspresi, melakukan aktivitas politik, dan tempat di mana warganya dapat dengan bebas mengembangkan ide-ide yang berbeda sekalipun. Selain itu, universitas juga merupakan lembaga formal dari mana nilai keberagaman dan efeknya pada keberagaman dan toleransi menyebar keluar dari ruang kelas dan laboratorium. Dengan menciptakan lingkungan sosial keterbukaan dan norma meritokratik, universitas telah membentuk atmosfer yang kondusif memacu pengembangan ekonomi kreatif.

Bagi Indonesia, selain diperlukan menjaga integrasi nasional bagi bangsa yang superplural ini, toleransi juga merupakan unsur terpenting bagi pengembangan ekonomi kreatif. Untuk itu, seluruh perguruan tinggi harus didorong agar mengambil peran lebih aktif dan konstruktif.

Malik Ruslan, Peneliti dan penulis. Associate editor Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta

Jurnal Nasional, 24 Nov 2008

Selasa, 18 November 2008

5 PILAR UTAMA INDUSTRI KREATIF


Arsitektur, produk mode, barang kerajinan, musik, lukisan, atau pertunjukan seni bukan barang baru. Meski begitu, pemerintah memasukkannya ke dalam kelompok industri kreatif. Industri kreatif atau sering disebut juga ekonomi kreatif semakin mendapat perhatian utama banyak negara karena industri ini memberi kontribusi nyata terhadap perekonomian negara.

Selain menyumbang pada ekspor, penyerapan tenaga kerja, dan produk domestik bruto (PDB), ekonomi berbasis ide kreatif ini juga dianggap tidak terlalu bergantung pada sumber daya alam tak terbarukan. Dengan kata lain, dapat menjadi ramah lingkungan, sejalan dengan kebutuhan mengurangi kerusakan lingkungan.

"Yang termasuk di dalam industri kreatif bukan industri baru. Masalahnya, bagaimana membangkitkan industri ini agar memberi nilai tambah ekonomi lebih tinggi. Nilai ekonomi industri ini diangkat karena keragaman budaya kita tinggi dan manusianya secara alamiah kreatif. Ini potensi dan daya saing kita," kata Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu.

Di dalam peta industri kreatif, pemerintah membuat model berdasarkan pada individu kreatif dengan lima pilar utama: (1) industri yang terlibat dalam produksi industri kreatif; (2) teknologi sebagai pendukung mewujudkan kreativitas individu; (3) sumber daya seperti sumber daya alam dan lahan; (4) kelembagaan mulai dari norma dan nilai di masyarakat, asosiasi industri, dan komunitas pendukung hingga perlindungan atas kekayaan intelektual; dan (5) lembaga intermediasi keuangan.

Aktor utama yang terlibat adalah intelektual, termasuk budayawan, seniman, pendidik, peneliti, penulis, pelopor di sanggar budaya, serta tokoh di bidang seni, budaya, dan ilmu pengetahuan; bisnis, yaitu pelaku usaha yang mentransformasi kreativitas menjadi produk bernilai ekonomi; dan pemerintah sebagai katalisator dan advokasi, regulator, konsumen, investor dan wiraswasta, serta perencana kota.

"Kunci semua itu implementasi hasil pemetaan. Kami di pemerintahan mulai berkoordinasi. Dari cetak biru ini harus ada rencana aksi dari tiap lembaga terkait. Dari situ harus ada mekanisme koordinasi, bisa di lembaga menko yang ada atau lembaga pemerintah yang dijalankan seperti swasta," kata Mari.

Di dalam implementasi itu termasuk memastikan ekonomi kreatif tidak berada hanya pada 14 sub-sektor industri. Berdasarkan pengalaman negara-negara lain, tahap itu baru fase pertama dari ekonomi kreatif. Fase berikut, proses kreatif harus ada di semua kegiatan ekonomi.

Indonesia, menurut Mari, sebetulnya mulai memasuki tahap tersebut. Industri keramik kelas dunia Royal Doulton dari Inggris yang motifnya dibuat dengan lukisan tangan, misalnya, membuka pabrik di Jakarta sebagai satu-satunya pabrik di luar Inggris karena percaya kepada kreativitas dan keterampilan orang Indonesia. Seniman batik Iwan Tirta, misalnya, diminta mendesain motif untuk peralatan makan. Begitu juga sepatu Nike dan Adidas mulai membuat desain sepatunya di sini. Fase terakhir adalah pada akhirnya konsumen menentukan arah, dinamika, dan evolusi ekonomi kreatif.

"Ini menyangkut isu demografi. Hampir semua pasar baru, termasuk Indonesia, memiliki lebih banyak penduduk usia muda daripada orang dewasa. Mereka sumber ekonomi kreatif sekaligus pasar. Dinamika ini harus kita pahami," tambah Mari.

Sumber: Kompas, 17-07-2008

Senin, 17 November 2008

BANDUNG, KOTA KREATIF DI ASIA PASIFIK


Sebagai kota yang dihuni sekitar 60 persen kalangan muda berusia di bawah 40 tahun dan tempat berkembangnya banyak peguruan tinggi, industri kreatif di Kota Bandung bertumbuh pesat. Melihat potensi industri kreatif Bandung yang menjanjikan, British Council menunjuk Kota Bandung sebagai salah satu kota kreatif di wilayah Asia Pasifik.

Dalam rangka memperkenalkan industri kreatif Bandung di dunia internasional, Pemerintah Kota Bandung bekerjasama dengan British Council, Bandung Creative City Forum, serta Forum Event Bandung di sepanjang bulan Agustus 2008 menyelenggarakan Helar Festival, Bandung Creative Month yang terdiri dari 25 acara kreatif bertaraf internasional.

Dalam acara tersebut, berbagai acara kreatif diselenggarakan, antara lain pameran karya seni rupa, open house galeri, pameran distro, opera di hutan, serta pameran galeri barang bekas di bawah jembatan.

Berbagai pelaku bisnis kreatif dari berbagai negara, seperti Taiwan, Thailand, Singapura, India, Inggris, dan Australia akan turus serta dalam acara tersebut. Dengan acara ini, Kota Bandung diharapkan memiliki jaringan bisnis ekonomi kreatif dengan berbagai kota-kota penghasil industri kreatif di dunia.

Sebelumnya, pada pertemuan internasional kota berbasis ekonomi kreatif, yang dilaksanakan di Yokohama Jepang pada akhir Juli 2007, Bandung memperoleh penghargaan sekaligus tantangan, dengan terpilih sebagai projek rintisan (pilot project) kota kreatif se-Asia Timur.

Pemilihan Bandung sebagai kota percontohan bukanlah tanpa alasan, mengingat dalam 10 tahun terakhir, industri kreatif di Bandung menunjukkan perkembangan signifikan dan memengaruhi tren anak muda di berbagai kota. Perkembangan tersebut menjadi daya tarik bagi para pelaku ekonomi kreatif di dunia, sehingga melalui projek percontohan ini, Bandung diharapkan mampu memopulerkan semangat kota kreatif di dunia global.

Bersamaan dengan HelarFest sebanyak 80 pakar industri kreatif dari 16 negara mengelar pertemuan di Institut Teknologi Bandung. Mereka mempresentasikan pemikiran mereka tentang industri kreatif dan prospek Bandung sebagai kota kreatif se Asia Timur dalam Konferensi Internasional Artepolis 2. Pertemuan ini adalah yang kedua setelah pertemuan serupa tahun 2006.

Berbeda dengan pertemuan pertama tahun 2006 yang membawa misi munculnya berbagai komunitas kreatif di Bandung, pertemuan yang bertema “Komunitas Kreatif dan Pemaknaan Tempat: Berbagi Pengalaman Kreatif” membawa misi mendorong pelaku-pelaku komunitas kreatif melakukan aksinya.

Jika tahun 2006 Arte-Polis digelar oleh Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB, tahun ini pertemuan ini menggandeng Sekolah Bisnis dan Manajemen, Pusat Penelitian Seni Rupa dan Desain (PP-SRD), Pusat Penelitian Teknologi Informasi dan Komunikasi (PP-TIK), Pusat Studi Urban Desain (PSUD) juga pemerintah seperti dinas perindustrian dan perdagangan. Acara ini juga 1 dari 31 rangkaian event Helarfest 2008 yang digagas Bandung Creative City Forum (BCCF).

Pertemuan Arte-Polis 2 menghadirkan pembicara kunci pakar internasional dan direktur KOMEDIA Charles Landry. Pria asal Inggris ini adalah penulis buku The Creative City : A Toolkit for Urban Innovators dan The Art Of City Making. Dari Indonesia adalah Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu.

Hadir juga pembicara utama Lily Kong, Direktur Asia Research Institute dari National University of Singapore, Masayuki Sasaki, professor Urban dan Ekonomi Kultural yang juga Direktur Urban Riset Jepang, John Newbigin, pakar kota kreatif dari Inggris serta Dr. Yasraf Piliang, Dr. Armein Langi dan Dr. Dwi Larso dari Indonesia.

Di luar acara itu, ada Konferensi Internasional dan Desain Charrette yang berlangsung hingga 10 Agustus 2008. Di event ini, para peserta dari dalam dan luar negeri berkolaborasi dalam satu sesi penciptaan di bawah flyover Jembatan Pasopati. Hasil desain ini diserahkan ke Pemerintah Kota Bandung sebagai persembahan dari warga dunia dan Indonesia bagi masyarakat Bandung.

Industri kreatif di Bandung memiliki kondisi yang berbeda dengan negara maju di Eropa dan Amerika. Di Eropa, industri kreatif muncul karena indusri manufakturnya sudah mengalami penurunan sehingga mereka mencari alternatif industri yang baru.

Di Indonesia, berbeda karena berangkat dari potensi yang ada. Banyak komunitas kreatif di masyarakat yang belum diangkat menjadi industri dan mendorong perekonomian. Jadi bukan karena industri manufaktur yang runtuh, tapi banyak potensi ekonomi rakyat yang belum diberdayakan atau belum diberi kesempatan.

Karena komunitas menjadi isu sentral, pertemuan ini bisa mengungkap komunitas industri yang ada di Bandung. Komunitas kreatif yang tumbuh subur di Bandung berbasis pada orang yang bertalenta. Jelas membedakan dengan industri kreatif negara maju yang berbasis orang berpendidikan.

Pada dasarnya, Bandung bisa diklaim sebagai kota yang sudah memiliki banyak potensi dan paling siap dalam merespons gelombang ekonomi. Hal ini karena potensi yang dimiliki Bandung belum tergali secara maksimal. Talenta muda yang berlimpah, jumlah perguruan tinggi yang mencapai 50, kemudahan mengakses teknologi, dan karakteristik masyarakat yang terbuka akan perbedaan dan perubahan, mampu memacu dan mendukung generasi mudanya untuk lebih berkreasi dan terjun ke dunia usaha.

Hanya saja saat ini belum ada langkah strategis dan politis dari pemerintah kota untuk menjadikan Bandung sebagai pemain utama dalam persaingan global di sektor ekonomi kreatif. Dibutuhkan dukungan penuh dari pemkot, seperti pemberian izin menyelenggarakan acara dan penyediaan creative center yang bisa difungsikan untuk mendukung kreativitas kota ini.

Selain itu, diperlukan ruang publik dan infrastruktur fisik kota yang berkualitas. Perencanaan dan perancangan kota yang inovatif dan responsif akan menjadi peluang pembangunan ekonomi.

Wali Kota Bandung Dada Rosada mengatakan, untuk saat ini yang diperlukan adalah implementasi dan tindakan nyata. Bukan sekadar usulan atau berhenti pada tataran konsep. Oleh karena itu, Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung akan mengeluarkan Surat Keputusan Wali Kota mengenai pembentukan tim yang menangani projek BCC.

Sumber : TEMPO Interaktif