Senin, 15 Desember 2008

MUHAMMADIYAH DAN EKONOMI KREATIF



Oleh
Mukhaer Pakkanna


Muhammadiyah adalah salah satu organisasi kemasyarakatan (ormas) yang telah memberi kontribusi signifikan bagi kemajuan bangsa. Muhammadiyah lahir 18 November 1912 di Yogyakarta dengan visi membangun masyarakat utama, yakni masyarakat mandiri, bermartabat, berkeadilan, dan berkemanusiaan.

Sebagai ormas, Muhammadiyah telah memiliki 30 juta anggota/simpatisan dengan amal usaha bidang pendidikan, yakni TK berjumlah 3.980, SD 6.728, SMP 3.279, SMA 2.776, kejuruan 101, pesantren 32; perguruan tinggi 176, dan tanah wakaf 29.808.164,60 ha. Di bidang kesehatan memiliki PKU 47 buah; poliklinik 217, klinik bersalin 82, dan akademi perawat 92. Amal usaha ini merupakan hasil mahakarya ekonomi kreatif para pendiri Muhammadiyah.

Melihat begitu banyak amal usaha Muhammadiyah itu, ada dua hal yang bisa dipetik. Pertama, Muhammadiyah lahir sebagai sebuah gerakan ilmiah dan amaliah. Artinya, teologi gerakan Muhammadiyah tidak saja berpijak pada kisaran filosofis, tapi juga berada dalam ranah aksi terlembaga. Kedua, gerakan Muhammadiyah ternyata lebih menyentuh pada aspek social services. Adanya lembaga pendidikan, kesehatan dan panti asuhan menandakan Muhammadiyah sebagai organisasi pelayan masyarakat.

Kiai Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah paham betul diperlukan sebuah institusi kreatif dalam pelayanan. Setalian dengan kemajuan zaman, pola kreativitas yang dikembangkan Dahlan selayaknya terus dikembangkan oleh pewarisnya secara progresif.

Namun, karena terjadi kelumpuhan kreativitas para pewaris Kiai Dahlan, akhirnya yang muncul nostalgia dan duplikasi. Kreativitas kemandirian dalam bentuk produk kelembagaan ekonomi kreatif kikir dilahirkan dalam rahim Muhammadiyah.


Ekonomi kreatif
Sebenarnya ekonomi kreatif menurut New England Foundation of the Arts (NEFA): ''represented by the 'cultural core.' It includes occupations and industries that focus on the production and distribution of cultural goods, services and intellectual property''. Dalam bahasa penggiat budaya, ekonomi kreatif berbasis budaya akan menjadi gelombang keempat dalam perkembangan ekonomi global setelah era ekonomi pertanian, ekonomi industri, dan ekonomi informasi.

Lebih konkretnya, menurut bahasa pemerintah, cakupan ekonomi kreatif meliputi riset dan pengembangan, software, kerajinan, seni rupa, jasa periklanan, arsitektur, desain, fashion, film, musik, seni pertunjukan, penerbitan, TV dan radio, mainan, dan video games. Produk ekonomi kreatif ini kerap dilahirkan dari hasil kreativitas budaya melalui dialektika pengalaman, pendidikan, pelatihan dan keberanian bereksperimen.

Dalam ekonomi kreatif, yang diciptakan bukan produk riil (barang), tapi produk abstrak. Produk abstrak (jasa) dilahirkan dari kreativitas ide sehingga kerap disebut knowledge economy. Lahirnya institusi pelayanan sosial oleh Kiai Dahlan pada zamannya juga merupakan produk ekonomi kreatif.

Kendati bersifat social services, Kiai Dahlan sangat yakin lembaga pendidikan, kesehatan, dan panti asuhan yang didirikannya suatu saat akan melahirkan manusia-manusia kreatif yang bisa memajukan dan menyejahterakan bangsa. Karena itu para pencipta produk ekonomi kreatif sejatinya orang-orang yang memiliki visi jangka panjang. Mereka lahir karena kemampuan pengetahuan, ide, dan daya kreasi yang bisa bernilai ekonomi tinggi.

Pewaris Kiai Dahlan
Pertanyaan, bagaimana kreativitas para pewaris Kiai Dahlan? Sebagai ormas yang memiliki segmentasi basis massa kelas menengah, selayaknya para pewaris ini memiliki produk ekonomi kreatif yang semakin bisa dibanggakan. Dengan puluhan ribu lembaga pendidikan, Muhammadiyah sejatinya mampu melahirkan manusia-manusia kreatif.

Selain memiliki lembaga pendidikan, Muhammadiyah juga memiliki puluhan ribu ranting, cabang, daerah dan wilayah menjadi modal dalam pengembangan ekonomi kreatif. Tapi, modal organisasi yang dimiliki itu belum optimal dimanfaatkan.

Produk-produk seni budaya, software, desain, hasil riset, kerajinan, dan produk berbasis pengetahuan lebih banyak dilahirkan dari organisasi di luar Muhammadiyah. Padahal, banyak penggiat ekonomi kreatif pernah mengenyam pendidikan di lembaga Muhammadiyah. Namun, mereka brain-drain karena wadah untuk pengembangan kreativitas dalam tubuh Muhammadiyah disesaki berbagai pola birokratisasi dan mekanisasi organisasi.

Selain itu, visi para elite Muhammadiyah kurang memberi wadah pengembangan ide-ide kreatif yang bernilai sosial dan ekonomi. Kurangnya respons Muhammadiyah terhadap penggiat ekonomi kreatif, akhirnya mereka mencari habitatnya untuk berkembang dan produktif di luar lingkungan Muhammadiyah.

Dalam konteks itulah, Muhammadiyah yang sudah berusia satu abad harus kembali memikirkan. Pertama, merumuskan agenda pekerjaan gelombang keempat yang akan dipacu oleh ekonomi kreatif. Kedua, para pewaris Kiai Dahlan harus diberikan wadah untuk melakukan improvisasi kreatif tanpa dikungkung oleh birokratisasi Muhammadiyah yang semakin kaku. Di sinilah lembaga pendidikan dan ranting-ranting Muhammadiyah harus dioptimalkan dalam menstimulasi kreativitas warganya.

Ketiga, mengurangi tensi dan libido politik praktis para pewaris Kiai Dahlan terutama kalangan elite dan anak-anak muda Muhammadiyah. Jika libido politik dikembangkan, hanya akan melahirkan generasi myopic, yakni rabun terhadap masa depan, yang ujungnya pelit melahirkan ide-ide ekonomi kreatif.

Penulis, Peneliti CIDES dan Wakil Rektor STIE Ahmad Dahlan Jakarta

Sumber: Republika, 15 Desember 2008

Minggu, 14 Desember 2008

EKOSISTEM KOMUNITAS KREATIF



Oleh Wanda Listiani

Keberadaan komunitas seolah menjadi cahaya di tengah krisis keuangan global saat ini. Dari hasil studi yang dilakukan Bappeda Kota Bandung (10/12/08), terdapat 5.291 komunitas kreatif di Kota Bandung. Data ini menarik karena komunitas tidak lagi dianggap sebagai tempat menghabiskan waktu (leisure), melainkan menjadi salah satu pilihan strategi bertahan hidup anggotanya di tengah kesulitan ekonomi yang mengimpit mereka.

Bandung dikenal sebagai pelopor industri desain (fashion dan tekstil) yang didominasi remaja sebagai pelaku industri dan budaya khas remaja (youth culture). Industri ini sejak 1970-an dikenal dengan kekuatan utamanya pada desain, keragaman bahan baku dan kekhususan merek, serta keunikan produk. Pertumbuhan distro dan clothing di Indonesia juga sudah mencapai 750 unit, 300 unit di antaranya tersebar di Bandung dengan pelaku usaha berumur antara 20 tahun-30 tahun.

Industri kreatif Bandung mempunyai keunikan khusus karena muncul dari komunitas. Walaupun ada juga dari industri rumahan. Berbeda dengan di Inggris, sebagai pelopor munculnya industri kreatif yang berasal dari industri rumahan (home industry). Bandung merupakan tempat yang kondusif untuk perkembangan kreativitas karena faktor toleransinya yang begitu tinggi dibandingkan dengan kota lain di Indonesia. Menurut Richard Florida (2003), tempat merupakan hal yang esensi untuk pertumbuhan ekonomi kreatif.

Berkembangnya usaha anggota komunitas menjadi industri kreatif menjadi fenomena baru bagi pertumbuhan ekonomi kreatif di Bandung. Usaha yang pada awalnya untuk pemenuhan kebutuhan anggota komunitas menjadi bisnis baru yang juga dikonsumsi masyarakat konsumen.

Jejaring komunitas

Merealisasikan ide menjadi sebuah karya atau produk, tidak mudah bagi setiap orang. Mereka memerlukan jejaring atau "pertemuan" dengan yang lain. Sumber ekonomi kreatif yang dapat lebih berkembang dalam jejaring komunitas seperti fashion (pakaian, sepatu, tas, pernak-pernik perhiasan/aksesori), desain, musik, seni pertunjukan, buku, dan penerbitan.

Perkembangan industri komunitas kreatif ini juga memberikan sisi negatifnya yaitu dominasi kelas tertentu atas kelas yang lain, monopoli, dan maraknya pembajakan karya. Pembajakan karya disikapi para pekerja kreatif dengan penciptaan karya terbaru. Pembajakan menurut salah satu pemilik distro terkenal di Bandung, dianggap sebagai sarana promosi gratis bagi distronya.

Jejaring tidak hanya terbatas antarproduk kreatif sejenis dan komunitasnya, melainkan antarkomunitas dan kota di luar Bandung lewat teknologi internet. Bnym (Day, 2006: 228) menyebutnya sebagai komunitas online. Komunitas online adalah kelompok pertemanan di mana seseorang mempunyai seperangkat kegiatan, koneksi dengan perkembangan dunia serta saling berelasi (relationships). Amitai Etzioni (Day, 2006: 15) mengidentifikasikan komunitas kreatif merupakan tempat di mana orang saling tahu dan peduli dengan yang lain. Dengan kata lain, mengadakan jaringan timbal balik dan peduli.

Mekanisme persaingan

Untuk mengatur mekanisme persaingan, pemerintah pusat telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 28 Tahun 2008 tentang kebijakan industri nasional. Kebijakan yang memberikan fasilitas insentif fiskal, insentif nonfiskal, dan kemudahan lain sesuai peraturan yang berlaku. Kebijakan yang seharusnya bersinergi dengan kebijakan pemerintah kota maupun daerah sehingga diharapkan kebijakan dalam struktur ruang metropolitan Bandung menurut MBUDP (Metropolitan Bandung Urban Development Programme) pada tahun 2015 antara lain berfokus pada, satu, pengembangan konsep dekosentrasi kegiatan perkotaan melalui peningkatan pertumbuhan di lima kota kecil, yaitu Padalarang, Soreang, Banjaran, Majalaya, dan Cicalengka. Kedua, pembatasan pertumbuhan terutama ke kawasan konservasi di bagian utara dan antara jalan tol panci dan Citarum (kawasan penyangga). Tiga, pembatasan pengembangan industri (di Batujajar, Cimahi Selatan, dan Padalarang). Empat, pengembangan jalur terbuka hijau sepanjang Sungai Citarum (Majalaya sampai ke Saguling). Lima, perlindungan terhadap kawasan Sungai Citarum dan Waduk Saguling. Enam, pengembangan kegiatan perumahan (Batujajar, Banjaran, Ciparay, Rancaekek, dan Cicalengka) dapat terlaksana.

Kebijakan struktur ruang Metropolitan Bandung 2015 selaras dengan temuan potensi ekonomi kreatif yang terkosentrasi pada enam wilayah pemetaan yaitu, pertama wilayah Bojonegara (12 sektor industri kreatif tambah sektor kuliner). Kedua, wilayah Cibeunying (14 sektor industri kreatif tambah sektor kuliner). Ketiga, wilayah Tegallega (9 sektor industri kreatif tambah wisata kuliner). Keempat, wilayah Karees (12 sektor industri kreatif tambah sektor kuliner). Kelima, wilayah Ujungberung. Keenam, wilayah Gedebage dengan masing-masing 3 sektor industri kreatif dan sektor kuliner. Penyebaran ekonomi kreatif yang merata merupakan peluang pemerintah kota menjadikan Bandung sebagai kota kreatif. Salah satu strategi membangun kluster komunitas dan memberikan insentif serta ruang berkreasi bagi mereka.

Ekosistem kreatif

Individu dalam berinteraksi di komunitas melakukan berbagai hal seperti diskusi, komunikasi, interpretasi antara satu sama lain, dan berbagi perspektif. Mereka melakukan kombinasi dan rekombinasi atau kegiatan kreatif dalam komunitas (Charon, 1998 : 68). Mereka belajar dari interaksi untuk menjadi individu kreatif, aktif, dan membentuk. Untuk itu, mereka memerlukan ekosistem yang mendukung kreativitas.

Ekosistem kreatif adalah suasana atau lingkungan yang memenuhi syarat antara lain pertama, toleransi. Toleransi yang dimaksud adalah keterbukaan atas perbedaan etnis, ras, agama, dan latar belakang hidup. Toleransi ini didukung dengan keyakinan bahwa setiap orang mempunyai kemampuan (talenta) yang unik dan kreatif. Kedua, ruang terbuka yang mempunyai fasilitas listrik dan jaringan internet gratis. Ruang semacam inilah yang disebut oleh Charles Landry (2007 : 335) dalam bukunya The Art of City Making sebagai ruang publik alternatif.

Fasilitas ruang alternatif kota mempunyai manfaat pemicu perkembangan ekonomi kreatif perkotaan di tengah krisis keuangan global. Kedua, bentuk jaminan pemerintah kota atas kebebasan berekspresi, misalnya pengadaan konser musik dan tempat berjejaring di ruang terbuka. Ketiga, sebagai upaya mengurangi tingkat kriminalitas dan pengangguran perkotaan. Terakhir, sarana dan tempat pertemuan pada sumber-sumber ekonomi kreatif baik industri maupun komunitas. Fasilitas yang semoga dapat dinikmati semua kalangan masyarakat. ***

Penulis, mahasiswa Program Doktor UGM, peneliti Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB.

Sumber: Pikiran Rakyat, 15 Desember 2008

Rabu, 10 Desember 2008

INDUSTRI KREATIF DAN KOMPETENSI PENGUASAAN TEKNOLOGI


Oleh Hendrawan Supratikno

DALAM perjalanan untuk bangkit menjadi negara maju,kesadaran tentang arti penting penguasaan teknologi sesungguhnya telah ada pada kita.

Berkali-kali kita telah menyatakan bahwa teknologi merupakan salah satu sumber utama peningkatan produktivitas yang pada ujungnya akan menentukan tingkat kemakmuran masyarakat. Sedemikian pentingnya teknologi, sampai-sampai ada masa ketika kita ingin melakukan lompatan teknologi dengan memberi prioritas pada pengembangan industri pesawat terbang. Banyak upaya telah dilakukan untuk mengembangkan industri yang di pasar dunia ini hanya dikuasai negara atau konsorsium negara-negara maju.

Seiring perjalanan waktu, kita tidak lagi mendengar gegap gempita karya anak bangsa dalam industri ini. Bahkan pernah diberitakan,pabrik pesawat terbang kita justru mengekspor panci. Pesawat terbang mungkin terlalu tinggi untuk dijangkau, maka harapan kita turunkan pada industri mobil. Negara yang mampu membesarkan industri, yang oleh Peter Drucker (1946) disebut sebagai ”the industry of the industry”, biasanya akan unggul dalam banyak industri lainnya, mengingat kaitan hulu-hilir industri ini sangat tinggi.

Keinginan besar kita tuangkan dalam rangkaian peraturan sejak 1976, seperti peraturan tentang program penanggalan (deletion program), insentif pajak berdasarkan capaian lokalisasi komponen, dan puncaknya pada Inpres Nomor 2/1996 tentang Mobil Nasional (Mobnas). Apa yang terjadi kemudian? Puluhan perusahaan yang berpredikat sebagai ATPM (agen tunggal pemegang merek) ternyata hanya sibuk bersaing sebagai pedagang mobil.

Perusahaan terbesar dalam industri ini, PT Astra Internasional, secara perlahan bahkan dipaksa principalutamanya,Toyota Motor,untuk bergerak di sektor hulu (penjualan, pembiayaan, asuransi, dan layanan purnajual),sementara sektor hilir (rancang bangun dan pabrikasi) tetap dikuasai principal.

Mungkin membuat mobil terlalu berat. Harapan kita turunkan lagi, yaitu pada industri sepeda motor, subsektor industri automotif yang luas pasarnya di Indonesia memadai untuk mencapai produksi pada skala ekonomi yang menguntungkan. Dengan permintaan pasar jutaan unit per tahunnya, pada industri ini kita bisa memperoleh keunggulan yang lebih solid.

Ketika optimisme merebak, penguasaan kita pada industri ini tiba-tiba terlepas saat terjadi krisis ekonomi hebat 1997/1998, karena ATPM yang bergerak pada industri ini satu per satu kembali jatuh ke tangan principalnya. Kita kembali kecewa karena gagal membangun industri domestik yang kuat, seperti yang terjadi di India dan China. Apakah sepeda motor juga terlalu berat bagi kita? Jika demikian, target kita turunkan lagi, yaitu industri sepeda.

Pada industri ini,kita memiliki sejumlah pemain nasional, bahkan ada yang memiliki merek kuat seperti Polygon. Kita butuh waktu untuk membuktikan apakah pada industri ini pun kita harus menuai kegagalan lagi. Akhir-akhir ini banyak kalangan berbicara tentang bangkitnya industri kreatif di Indonesia.

Industri kreatif didefinisikan sebagai: ”Industries which have their origin in individual creativity, skill and talent,and which have a potential for wealth and job creation through the generation and exploitation of intellectual property.

Yang termasuk dalam industri ini antara lain industri entertainment, periklanan dan promosi, penerbitan, kemasan, media,rumah produksi, perangkat lunak, fesyen, dan kerajinan. Data Departemen Perdagangan menunjukkan,industri kreatif memberi kontribusi sekitar 6,3% terhadap GDP nasional. Untuk mendukung kebangkitan lanjut industri ini, baru-baru ini diselenggarakan Pekan Produk Budaya Indonesia (4–8 Juni 2008).

Tidak dimungkiri, geliat industri kreatif memang sangat terasa belakangan ini. Jenis-jenis profesi baru bermunculan, seperti penata panggung,presenter,event organizer, disk jockey, mentalis, penari latar,komedian. Media massa, cetak maupun elektronik,dijejali informasi seputar selebriti. Berbagai ajang pemberian penghargaan untuk berbagai karya, dari film ke iklan, dari fotografi ke musik, dari tata rias ke kontes kecantikan, ada di mana-mana.

Sukses film Ayat-Ayat Cinta merupakan pertanda kebangkitan industri kreatif ini. Persaingan seru pada pentas industri musik,bahkan membuat kita sulit mengingat nama grup-grup pemusik dan lagu yang dibawakannya. Kita juga sulit membedakan secara jelas judul dan isi berbagai sinetron dalam tayangan televisi kita. Siapa yang menduga, bisnis nada dering dan ramal-meramal ala paranormal secara online begitu menjamur seperti sekarang.

Salah satu tantangan terbesar kita adalah merevitalisasi produk-produk budaya lokal agar mampu bersaing dengan hasil kreasi bangsabangsa lain. Bayangkan, betapa akan semarak industri batik nasional apabila batik dinyatakan sebagai busana resmi nasional menggantikan jas dalam berbagai acara formal.Betapa luar biasa bila lagu-lagu daerah menjadi bagian paketpaket pertunjukan di mal dan hotel-hotel berbintang.

Bayangkan, betapa menggairahkan menyaksikan pertunjukan wayang kulit yang bisa dikemas dalam ceritacerita pendek,berdurasi pendek dengan barisan pendukung acara yang jumlahnya lebih ekonomis,sehingga mampu bersaing dengan pertunjukan solo organ yang sering tampil pada acara pernikahan atau peresmian-peresmian. Betapa semarak apabila musik dangdut dikemas dalam pola pertunjukkan yang bernuansa jazzy dan lebih formal.

Albert Einstein pernah menulis,”imagination is more important than knowledge”. Imajinasi merupakan bahan bakar kreativitas.Kreativitas merupakan penggerak utama industri kreatif.Kebinekaan sumber daya dan latar belakang budaya kita merupakan ladang kondusif bertumbuhnya industri ini, karena pengembangan kreativitas tidak hanya membutuhkan lingkungan yang menjamin kebebasan berekspresi, tetapi juga varietas genetika yang beraneka.(*)

Penulis adalah Guru Besar FE-UKSW Salatiga; Alumnus Tinbergen Institute,Belanda.

Sumber: Seputar Indonesia, 11 June 2008

Rabu, 03 Desember 2008

REVOLUSI INDUSTRI KREATIF


Oleh Prof. Eddy Yusuf

DUNIA kini tengah memasuki era industri gelombang keempat, yaitu industri ekonomi kreatif (creative economic industry). Para pelakunya berani mengklaim kalau usaha industri ekonomi kreatif adalah industri masa depan alias fourth wave industry (industri gelombang keempat). Pertanyaannya, mengapa industri ekonomi kreatif? Industri ini telah mampu mengikat pasar dunia dengan jutaan kreativitas dan persepsi yang dapat dijual secara global tanpa harus bangun pabrik. Walt Disney di Amerika Serikat, contohnya, mereka hanya menjual lisensi, brand, dan ide kreatifnya. Pabriknya tidak perlu di AS, tetapi bisa di Cina.

Industri ekonomi kreatif mungkin belum begitu akrab di telinga orang Indonesia. Padahal kata kreatif, salah satu kata kuncinya, sering kali didengar dan diucapkan.

Suka atau tidak suka Indonesia sangat berkepentingan untuk terus memacu industri ekonomi kreatifnya. Mengapa? Karena industri ekonomi kreatif berpusat produksi di otak. Perkembangan industri ini akan membantu menghemat sumber daya alam nasional yang selain kian menipis, juga banyak menimbulkan pencemaran lingkungan.

Harus diakui, industri ekonomi kreatif Indonesia nyata-nyata telah mampu menyumbang produk domestik bruto (PDB) nasional secara signifikan. Setiap tahunnya, industri ini tumbuh sebesar 15%. Dari data statistik sepanjang tahun 2006, industri ini telah menyumbang 33,5% dari PDB. Angka ini setara dengan USD 77 miliar atau Rp 693 triliun dengan kurs Rp 9.000,00. Pada sektor manufaktur yang terkait dengan industri ekonomi kreatif di Indonesia tahun 2005 bisa menyumbang Rp 915 triliun. PDB dari sektor ini lebih besar enam kali lipat dari minyak dan gas bumi.

Persoalannya kini, bagaimana peluang industri ekonomi kreatif Indonesia ini di tataran global? Tentu saja, agar kompetitif, ada syarat yang mesti dipenuhi. Pertama, jangan sekali-kali menganggap industri ekonomi kreatif ini identik dengan kerjaan seniman. Kedua, kembangkan ide-ide kreatif yang orisinal dari dalam diri tanpa harus merisaukan kondisi persaingan global. Ketiga, pemerintah harus serius memberikan dukungan pengembangan industri ekonomi kreatif. Untuk ukuran Asia, pemerintah Uni Emirat Arab bisa jadi contoh. Mereka mempromosikan potensi pariwisata, jasa, dan investasinya dengan dukungan besar dari pelaku industri ekonomi kreatif yang berhasil memasarkan dan menjual citra serta persepsi negara itu kepada dunia.

Di Indonesia, perkembangan industri ekonomi kreatif ini masih terhambat ketiadaan pemetaan. Meski pemerintah telah berupaya memetakannya dengan mengajak kerja sama berbagai departemen (Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Kementerian Riset dan Teknologi, Departemen Komunikasi dan Informasi, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata) yang diluncurkan pada Agustus 2007 lalu, sayangnya, pemetaan itu belum menorehkan hasil.

Sebenarnya Indonesia memiliki track record yang baik. Jadi, tinggal mengembangkannya saja maksimal? Pasarnya perluas, jangan hanya berpikir untuk Indonesia saja, tetapi global.

Kalau melihat negara luar seperti Singapura dan Inggris, mereka telah memiliki pemetaan industri ekonomi kreatif sehingga industri ekonomi kreatif di sana sangat berkembang pesat. Industri ekonomi kreatif Singapura memiliki kontribusi sebesar 5% dari PDB atau USD 5,2 miliar atau sekitar Rp 47 triliun. Pada tahun 2012, pertumbuhan industri ini diperkirakan tumbuh 10%.

Di Inggris, sumbangan industri ekonomi kreatif terhadap pendapatan nasional negeri itu mencapai 8,2% atau USD 12,6 miliar dan merupakan sumber ekonomi kedua terbesar setelah perbankan dengan dua juta pekerja dan pemasukan sekitar Rp 2.188,8 triliun atau setara PDB Indonesia tahun 2003. Hal ini melampaui pendapatan negara dari sektor industri manufaktur seperti minyak dan gas. Pertumbuhannya rata-rata 9% per tahun, jauh di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi negara itu yang rata-rata 2-3% per tahun.

Sebenarnya definisi atau cakupan industri ekonomi kreatif sangat luas sebagaimana ditetapkan Inggris. Inggris dianggap barometer dunia dan negara yang paling sukses mengembangkan sekaligus mengakui kontribusi industri ekonomi kreatif. Dari data Industri ekonomi kreatif yang digulirkan negara itu, ada 13 sektor yang disebut industri kreatif. Masing-masing periklanan, arsitektur, seni, kriya, desain, mode, film, musik, pertunjukan seni, penerbitan, penelitian dan pengembangan, peranti lunak, mainan anak-anak, televisi dan radio, serta video game.

Melihat pesatnya perkembangan industri ekonomi kreatif di negara maju seharusnya membuat Indonesia tak perlu terlalu lama menunggu hasil pemetaan industri ekonomi kreatifnya. Selama adanya dukungan infrastruktur dan kelembagaan, seperti hak cipta intelektual berikut perangkat hukumnya dan penanganan pembajakan, Indonesia seharusnya bisa langsung jalan.

Kini di tengah citra negara Indonesia yang belum menggembirakan di mata internasional, kesempatan emas ini tentu tak boleh disia-siakan. Apalagi, bangsa Indonesia juga memiliki warisan kekayaan kreatif dari nenek moyangnya.

Dengan kesempatan dan modal itu, bangsa Indonesia sebenarnya sudah unggul dari segi kreativitas, inovasi, dan kewirausahaan. Inovasi merupakan proses menemukan atau mengimplementasikan sesuatu yang baru ke dalam situasi yang baru.

Kedua, kreativitas. Kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya. Sementara kreatif, menghadirkan sesuatu benda atau hal yang sebelumnya sama sekali belum ada untuk dipergunakan. Ide yang kreatif dikaitkan dengan ide yang baru paling, tidak untuk orang yang bersangkutan. Ide kreatif ini dapat melibatkan sebuah usaha penggabungan dua hal atau lebih ide-ide secara langsung.

Ketiga, wirausaha, yakni kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk melihat dan menilai kesempatan-kesempatan bisnis, mengumpulkan sumber-sumber daya yang dibutuhkan untuk mengambil tindakan yang tepat dan mengambil keuntungan dalam rangka meraih sukses. Wirausaha pada hakikatnya adalah sifat, ciri, dan watak seseorang yang memiliki kemauan dalam mewujudkan gagasan inovatif ke dalam dunia nyata secara kreatif. Contohnya adalah UMKM.

Bila disimak, modal dasar di atas telah dimiliki bangsa ini sejak lama. Jika diringkas, inti dari industri ekonomi kreatif adalah industri yang berbasis pada kreativitas, keahlian, dan bakat individu. Jika dikaitkan dengan instansi terkait di Indonesia, tentu melibatkan banyak departemen. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri telah mendeklarasikan keberadaan dan pentingnya pengembangan industri ekonomi kreatif di Indonesia. Pemerintah pun secara keseluruhan telah menggelar serangkaian event dan program yang terkait dengan industri ekonomi kreatif.

Artinya, betapa besar sebenarnya peluang usaha yang terbentang di industri ekonomi kreatif ini. Namun, tentu saja membutuhkan kreativitas dan ide orisinal pelakunya. Tidak hanya bagi pelaku, namun peranan pemerintah juga memegang peran penting dalam menyelaraskan kebijakan yang akan diambil guna mendukung pendapatan PDB. Pemerintah juga berkepentingan besar mendukung industri ekonomi kreatif ini karena mampu menyerap sedikitnya tiga juta pekerja.***

Penulis, Guru Besar Kopertis Wil. IV Jabar Banten, Pembantu Rektor I Universitas Pasundan (Unpas) Bandung, dan Wakil Ketua LP3E Kadin Jabar.

Sumber: Pikiran Rakyat Bandung.

Selasa, 02 Desember 2008

INDUSTRI KREATIF, POTENSI BESAR YANG BELUM DIPRIORITASKAN


Oleh Rachmat Gobel

Bersamaan dengan penyelenggaraan Pameran Produk Budaya Indonesia (PPBI) ke-2 pada 4-8 Juni 2008, pemerintah meluncurkan buku biru (blue print) tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif 2025. Upaya ini di antaranya digagas oleh Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu.

Ini merupakan langkah positif, karena di masa depan sektor ekonomi kreatif menjadi motor penggerak perekonomian dunia. Hal ini ditandai dengan peningkatan pertumbuhan dan peran ekonomi kreatif atau industri kreatif secara signifikan, meninggalkan sektor pertanian, industri, dan teknologi informasi.

Pasar ekonomi kreatif yang tumbuh di atas rata-rata perekonomian global membuat banyak negara, terutama negara maju, melirik ke sektor ini. Dengan tingkat pertumbuhan 5% per tahun, nilai ekonomi kreatif secara global pada 2020 diperkirakan mencapai US$6,1 triliun.

Beberapa negara Asia, seperti India, China, Malaysia, Thailand, dan Singapura secara serius mulai menggarap sektor ini. Thailand melalui Thailand Design Center, misalnya, tengah 'berjibaku' untuk mengangkat sektor ekonomi kreatif. Begitu juga India lewat industri film dan musiknya.

Singapura bahkan telah mereposisi perekonomiannya dan berambisi menjadi pusat ekonomi kreatif di Asia. Pada 2005, Perdana Menteri Lee Hsien Long meluncurkan tiga gerakan nasional, yakni Design Singapore, Media 21, dan Rennaisance City 2.0.

Melalui tiga program itu, Singapura berambisi menjadikan sektor ekonomi kreatif sebagai tulung punggung pertumbuhan ekonominya dengan target kenaikan menjadi dua kali lipat dalam tujuh tahun ke depan.

Indonesia sebetulnya menyimpan potensi besar di sektor ekonomi kreatif, tetapi belum banyak disentuh oleh kebijakan dan digarap secara optimal. Sebagai bangsa yang memiliki keragaman budaya, Indonesia kaya akan warisan tradisi dan seni. Ini adalah modal dasar yang besar untuk masuk dalam kancah ekonomi kreatif global.

Di Indonesia, peranan sektor ekonomi kreatif terhadap perekonomian nasional selama ini cukup besar, khususnya dalam penciptaan lapangan kerja. Sumbangan sektor ini terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2002-2006 rata-rata Rp104,64 triliun dan menyerap 5,4 juta tenaga kerja.

Selain mempunyai kemampuan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, yang menarik adalah sebagian besar dari mereka yang bergerak di sektor ini merupakan kelompok UKM dengan produktivitas Rp19,5 juta per pekerja per tahun. Angka ini jauh di atas rata-rata produktivitas nasional sekitar Rp18 juta per tahun.

Dengan karakteristik seperti ini, pengembangan ekonomi kreatif akan menjadi sangat strategis dalam memecahkan masalah besar yakni pengangguran dan kemiskinan yang begitu tinggi.

Oleh karena itu, saat menyusun Visi 2030 dan Roadmap Industri 2010, Kadin Indonesia memasukkan sektor ini sebagai salah satu industri yang diunggulkan sebagai penggerak dan pencipta lapangan kerja serta menurunkan angka kemiskinan.

Ekonomi kreatif adalah sebuah proses peningkatan nilai tambah hasil dari eksploitasi kekayaan intelektual berupa kreativitas, keahlian, dan bakat individu menjadi produk yang dapat dikomersialkan.

Dalam buku biru yang baru diluncurkan itu, terdapat 14 subsektor ekonomi kreatif, di antaranya periklanan, kerajinan, pasar barang seni, fashion, seni pertunjukan, film, animasi, dan penerbitan.

Karakteristik unik dari ekonomi kreatif adalah fokus persaingan yang menitikberatkan pada desain produk, bukan pada harga.

Oleh karena itu, ada beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan, yaitu kemampuan desain, teknologi produksi, akses pemasaran, dan pembiayaan. Sayangnya, iklim usaha saat ini belum sepenuhnya mendukung perkembangan sektor ini, padahal potensi dan modal yang dimiliki sangat besar.

Saat ini, kita memiliki banyak desainer, arsitek, dan pekerja ekonomi kreatif yang berbakat dan tidak kalah dibandingkan dengan negara lain. Sebut saja, Castle Production di Pasar Baru, Jakarta, yang menghasilkan animasi kelas dunia Carlos the Catterpilar dan The Jim Elliot Story.

Kita juga memiliki Sibarani Sofyan, seorang urban desiner muda yang berbagai karyanya bertebaran di Malaysia, China, dan Dubai. Ada pula Christiawan Lie, komikus GI Joe, yang sedang naik daun di Amerika Serikat, atau Budi Pradono, arsitek muda, yang mendapatkan penghargaan Architectural Review.

Sinergi

Diperlukan perhatian yang lebih besar dari semua pihak agar potensi di sektor ini tidak terbuang sia-sia, sehingga kemudian dimanfaatkan negara lain.

Pemerintah perlu memanfaatkan semua potensi yang ada dengan mendorong kalangan perusahaan besar untuk mengembangkan masyarakat ekonomi kreatif di lingkungan mereka. Sekadar contoh, lomba desain aksesori kendaraan yang diselenggarakan PT Toyota Astra Motor dengan melibatkan perguruan tinggi dan memberi kesempatan kepada pemenang untuk mengaplikasikan karyanya secara komersial merupakan langkah yang patut dilanjutkan dan dikembangkan.

Untuk mengakselerasi, pemerintah seharusnya memberi perhatian lewat insentif agar semakin banyak perusahaan yang ikut berperan aktif dalam mengembangkan sektor ini melalui pola kemitraan.

Berdasarkan pengalaman Kadin Indonesia, membangun interaksi dan membina pelaku industri kreatif di sejumlah daerah, seperti di Sidoarjo dan Yogyakarta lewat pola kemitraan, merupakan cara yang sangat efektif.

Pengalaman juga menunjukkan bahwa faktor kelembagaan menjadi begitu penting, tidak hanya dalam hal pemasaran, tetapi juga dalam pengembangan desain. Selama ini, pelaku ekonomi kreatif lebih banyak bergerak secara underground dan independen.

Oleh karena itu, kita sering mendengar banyak desainer yang kebingungan mencari manufaktur yang bisa membantu mewujudkan ide brilian mereka.

Para desainer juga sering kesulitan mencari modal kerja, karena mereka ditolak perbankan. Mereka umumnya tidak memiliki aset tetap kecuali ide-ide kreatif.

Dalam kaitan kebijakan yang ada, sangat mungkin bagi pemerintah untuk memasukkan pengembangan industri kreatif dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Madani yang dikoordinasi oleh Kantor Menko Kesra.

Agar tidak kehilangan peluang, pengembangan ekonomi kreatif? harus menjadi prioritas serta terus menyempurnakan cetak biru yang ada. Hal ini di antaranya dengan memasukkan target kuantitatif. Ini sangat penting agar sasaran ke depan menjadi lebih jelas.***

Bisnis Indonesia, 16 Juni 2008

Senin, 01 Desember 2008

MENUJU TERWUJUDNYA EKONOMI KREATIF DENGAN HKI


Direktur Kerjasama Internasional, Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Hukum & Hak Asasi Manusia Indonesia, Dr. Ansyori Sinungan, SH, LLM pada Pelatihan Hak Kekayaan Intelektual bagi Akademisi dan Praktisi, di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, pada 26 Juni 2008 mengatakan bahwa sebuah negara yang kaya akan sumberdaya alam (SDA) akan kalah dalam bersaing dengan negara yang miskin SDA-nya tetapi kaya akan Hak Kekayaan dan Intelektual (HKI). Ungkapan tersebut menunjukkan betapa pentingnya HKI sebagai piranti hukum untuk melindungi produk-produk dan kekayaan ekonomi negara untuk kesejahteraan bangsa.

HKI yang sudah berkembang sejak 350 tahun silam di negara-negara maju, tetapi di Indonesia baru dikembangkan pada akhir-akhir ini saja, merupakan hak kekayaan yang terkait dengan perdagangan internasional. Karena sudah menjadi bagian dari WTO (World Trade Organization), maka Indonesia tidak lagi bisa seenaknya mengabaikan aturan-aturan yang berlaku dalam perdagangan bebas.

Dijelaskan oleh Dr Ansyori, sudah banyak produk industri dan kekayaan alam Indonesia yang dirugikan berkaitan dengan persoalan HKI, baik yang berkaitan dengan perdagangan nasional maupun internasional. Misalnya, ditolaknya Kopi Toraja dari Tanah Toraja serta Kopi Gayo dari Aceh di Jepang, adalah karena kedua produk tersebut sudah didaftarkan di negara itu oleh pihak lain. Kasus lain yang berkaitan dengan permasalahan HKI adalah ukiran Jepara yang didaftarkan oleh orang Inggris, Reog Ponorogo yang sempat menghebohkan, batik, dan hak cipta lagu. Kasus-kasus semacam itu dipandang sebagai suatu kerugian, hanya karena karya inovasi dan kreativitas yang tidak terdaftar dan dilindungi oleh HKI.

Sebaliknya, jika hasil suatu kreativitas/inovasi telah dilindungi HKI dan terdaftar secara internasional, maka akan timbul peluang untuk peningkatan nilai ekonomi, misalnya melalui penjualan dengan sistem waralaba. Dengan cara ini, maka secara periodik pemegang hak kreatifitas berhak menerima fee dan keuntungan dari hasil inovasinya. “Artinya hak cipta itu identik dengan perusahaan industri,” katanya.

Ekonomi Kreatif

Sementara itu Dirjen HKI Depkumham Dr. Andy N. Sommeng menambahkan, adalah penting bagi negara seperti Indonesia ini untuk memberikan perhatian kepada persoalan HKI. Hal itu menjadi lebih penting lagi bila menyangkut kekayaan sumber hayati dan biodiversitas Indonesia yang menempati urutan ke dua setelah Brasil. “Negeri kita ini mempunyai mega biodiversity, jadi kita wajib melindungi sumberdaya hayati dengan HKI dan knowledge,” kata Dirjen HKI.

Realita demikian tidak bisa dielakkan, terutama pada era perdagangan bebas. Pada era ini tidak dikenal batas pemerintahan dan geografis suatu negara, dan pembatas yang ada hanyalah berupa kemampuan bersaing antar-pengusaha, baik di pasar dalam negeri dan internasional. Citra budaya proteksi suatu negara terhadap kepentingan dalam negeri, yang pernah menjadi argumen untuk meningkatkan kemampuan ekonomi nasional bagi kesejahteraan masyarakatnya, telah bergeser kepada citra budaya baru, yaitu pentingnya meningkatkan kapabilitas SDM dan Iptek bangsa sebagai prasyarat bagi berhasilnya pembangunan nasional.

“Globalisasi akan menjadi milik bangsa Indonesia jika kita berhasil membangun kebudayaan bangsa yang bertumpu pada peningkatan kemampuan bersaing dan bukan ketergantungan pada sumber daya alam atau proteksi pemerintahnya, “imbuh Dr. Andy N. Sommeng.

Peningkatan kreativitas dan inovasi dalam pembangunan ekonomi Indonesia merupakan hal yang sejalan dengan program pemerintah untuk mengedepankan ekonomi kreatif sebagai salah satu pilar ekonomi Indonesia. Hal ini ditandai dengan adanya blue-print Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia tahun 2009-2025 dan Pengembangan 14 Sektor Ekonomi Kreatif yang diserahkan Menteri Perdagangan RI kepada Presiden, awal Juni 2008 lalu.

Untuk itu, Pemerintah Indonesia telah menyusun Kebijakan Nasional Kekayaan Intelektual (KNKI) sebagai petunjuk prinsip kepada seluruh pemangku kepentingan HKI (IP stakeholder) dalam membangun dan mempromosikan kekayaan intelektual sebagai alat pembangunan sosial, ekonomi dan teknologi. Tujuan utama KNKI adalah untuk menjadikan kekayaan intelektual sebagai mesin baru pertumbuhan (new engine of growth) dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial. []