Rabu, 18 Februari 2009

MERAIH PELUANG INDUSTRI KREATIF


Oleh Jakob Oetama

Indonesia adalah negara kepulauan yang besar, terdiri atas 17.504 pulau dengan keragaman dan kekayaan budaya bangsa. Terdapat 1.068 suku bangsa, dan berkomunikasi dengan 665 bahasa daerah di seluruh Nusantara.

Indonesia dikaruniai iklim subtropis yang bersahabat, tanah yang subur, serta alam yang sangat indah. Selain itu, Indonesia kaya dengan spesies langka flora dan fauna mencakup mamalia, kupu-kupu, reptil, burung, unggas, dan amfibi berjumlah 3.025 spesies.

Tumbuhan yang hidup di Indonesia berjumlah sekitar 47.000 spesies atau setara dengan 12 persen dari seluruh spesies tumbuhan di dunia.

Dalam bidang seni dan budaya terdapat sedikitnya 300 gaya tari tradisional yang berasal dari Sabang sampai Merauke. Kekayaan budaya bangsa Indonesia adalah potensi besar dalam mendukung tumbuhnya industri kreatif Indonesia yang saat ini memberikan kontribusi kepada pendapatan domestik bruto (PDB) senilai Rp 104,6 triliun.

Industri kreatif Indonesia

Rata-rata kontribusi PDB industri kreatif Indonesia tahun 2002-2006 sebesar 6,3 persen dari total PDB Nasional dengan nilai Rp 104,6 triliun. Nilai ekspor industri kreatif mencapai Rp 81,4 triliun dan berkontribusi sebesar 9,13 persen terhadap total nilai ekspor nasional dengan penyerapan tenaga kerja mencapai 5,4 juta pekerja.

PDB industri kreatif menduduki peringkat ke-7 dari 10 lapangan usaha utama yang ada di Indonesia. PDB industri kreatif saat ini masih didominasi oleh kelompok fesyen, kerajinan, periklanan, dan desain.

Pemerintah telah mengidentifikasi lingkup industri kreatif mencakup 14 subsektor, antara lain, industri perangkat lunak (software), pasar barang seni, industri kerajinan, fesyen, advertising, desain, animasi, film, video dan fotografi, musik, serta permainan interaktif.

Indonesia memiliki potensi kekayaan seni budaya yang beragam sebagai fondasi tumbuhnya industri kreatif. Keragaman budaya itu sendiri sebagai bahan baku industri kreatif, munculnya aneka ragam kerajinan dan berbagai produk Indonesia, memunculkan juga berbagai bakat (talent) dari masyarakat Indonesia di bidang industri kreatif.

Universitas Multimedia Nusantara (UMN) berupaya menjadi salah satu elemen penggerak industri kreatif, yakni menyiapkan tenaga yang berbakat tersebut menjadi terampil dan berdaya saing tinggi untuk berhasil di industri kreatif.

UMN merancang kurikulum yang berorientasi kreatif dan kewirausahaan (entrepreneurship) berikut sarana laboratorium yang baik di bidang ICT (information and communication technology) serta laboratorium multimedia (animasi desain).

Alasan mengembangkan

Indonesia perlu terus mengembangkan industri kreatif. Alasannya, industri kreatif memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan. Selain itu, industri kreatif menciptakan iklim bisnis yang positif dan membangun citra serta identitas bangsa.

Di sisi lain, industri kreatif berbasis pada sumber daya yang terbarukan, menciptakan inovasi dan kreativitas yang merupakan keunggulan kompetitif suatu bangsa serta memberikan dampak sosial yang positif.

Meski demikian, untuk menggerakkan industri kreatif diperlukan beberapa faktor. Di antaranya, arahan edukatif, memberikan penghargaan terhadap insan kreatif, serta menciptakan iklim usaha yang kondusif.

Fenomena global

Saat ini ekonomi industrial telah beralih ke Ekonomi Kreatif dan korporasi berada di simpang jalan. Atribut yang cocok untuk abad ke-20 tidak lagi sesuai di abad ke-21 sehingga korporasi harus berubah secara dramatis.

Daya yang paling penting saat ini adalah tumbuhnya kekuatan ide. Itulah sebabnya, sebagian besar tenaga kerja kini berada pada sektor jasa atau menghasilkan produk abstrak, seperti data, software, berita, hiburan, periklanan, dan lain-lain.

Belanja modal di Amerika Serikat untuk teknologi informasi berlipat lebih dari tiga kali lipat sejak 1960, dari hanya 10 persen menjadi 35 persen.

Pergantian abad merupakan pergantian dari hamburger ke software. Software adalah ide. Meskipun masih ada pembuat hamburger di abad ke-21, tetapi kekuatan, prestise, dan uang akan mengalir ke perusahaan dengan modal intelektual yang sangat berharga.

Bila dibandingkan, McDonald’s yang memiliki pegawai 10 kali lebih banyak, nilai kapitalisasi pasarnya hanya 1/10 Microsoft.

Pada era ekonomi yang berbasis pada ide, potensi untuk sukses seperti Yahoo, Google adalah jauh lebih besar karena ide bersifat menular. Ide dapat menyebar ke populasi yang sangat besar dalam waktu yang cepat.

Sekali sebuah ide, seperti program komputer telah dikembangkan, biaya untuk penggandaan hampir nol, tetapi dengan potensi keuntungan yang sangat besar.

Dalam era ekonomi kreatif, isu penting yang harus diatasi adalah pembajakan. Buku, musik atau software sulit untuk dibuat, tetapi sangat mudah digandakan, apalagi dengan kehadiran internet. Padahal pencurian terhadap hak cipta intelektual sangat mematikan inovasi.

Di era ekonomi kreatif, tersedia modal yang sangat banyak tetapi justru ide bagus yang sangat kurang. Jadi pemilik modal sepertinya kehilangan kekuatan di abad ke-21 ini, sedangkan wirausahawan dan pemilik ide-lah yang memegang peranan.

Hak milik intelektual

Dalam Ekonomi Kreatif, hak milik intelektual yang paling penting bukanlah software, musik atau film, tetapi apa yang berada di dalam kepala karyawan.

Ketika aset berupa benda fisik, seperti batu bara, misalnya, pemegang saham memiliki seluruhnya. Tetapi kalau aset terpenting adalah orang, mereka tidak sepenuhnya memiliki karena berada di orang tersebut.

Bila orang tersebut pindah, maka mereka akan membawa serta aset-aset berupa ide. Yang terbaik yang bisa dilakukan oleh perusahaan adalah menciptakan lingkungan yang bisa membuat orang terbaik tetap betah. Aset yang sebenarnya adalah ide.

Jakob Oetama, Presiden Komisaris Kompas Gramedia. Disampaikan pada acara Studium Generale Universitas Multimedia Nusantara (UMN) di Kampus UMN, Summarecon-Serpong, Tangerang

[Kompas, 24 Oktober 2008 ]

Selasa, 17 Februari 2009

MEWUJUDKAN JABAR KREATIF


Oleh IU RUSLIANA

KRISIS global terus menelan korban. Bangkrutnya beberapa korporasi, ketatnya pengucuran kredit perbankan dan pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri manufaktur seperti tekstil, alas kaki, furnitur, dan yang lainnya terus terjadi. Korporasi besar yang masih bertahan tampaknya akan berhati-hati dalam berekspansi. Pertumbuhan ekonomi 5 persen di 2009 adalah angka yang paling realistis.

Kini hanya ada beberapa pelaku dan sektor industri yang bisa diharapkan bakal menjadi kekuatan penggerak ekonomi, yaitu pemerintah dan partai politik. Pemerintah dengan anggaran belanja tahun 2009, seribu triliun rupiah lebih harus menjadi stimulus ekonomi. Termasuk kebijakan menggenjot kredit perumahan kelas menengah ke bawah dan kredit motor serta menurunkan harga BBM (premium dan solar) ke Rp 4.500,00 per 15 Januari 2009 adalah salah satu kebijakan penting. Demikian juga partai politik, kampanye yang besar-besaran dengan dana triliunan rupiah diyakini akan menggerakkan ekonomi nasional yang tengah terpuruk.

Harapan itu ada, namun apakah akan selamanya begini? Adakah potensi besar yang harusnya disyukuri dan menjadi penopang menuju kemandirian ekonomi? Pada konteks Jawa Barat, misalnya, beberapa industri diperkirakan segera melakukan PHK, karena dampak krisis, menyusul menurunnya order dari pasar Eropa dan Amerika Serikat. Dengan jumlah pengangguran yang bakal meningkat, apakah program padat karya yang sifatnya insidental saja yang bisa diandalkan? Bukankah sebaiknya dana bantuan sosial ekonomi yang disalurkan bisa menggerakan ekonomi berbasis masyarakat lokal.

Ekonomi Kreatif

Sebagai bangsa yang kaya sumber daya alam dan keragaman budaya, kita harus menyadari potensi ekonomi yang berasal dari gagasan kreatif masyarakat. Masyarakat Indonesia, apalagi masyarakat Jawa Barat, telah menyatukan diri dengan budaya dan alam sehingga melahirkan pelbagai produk yang unik dan kreatif. Industri kreatif Indonesia menyumbangkan sekitar 4,75% dari Produk Domestik Bruto atau PDB Indonesia pada 2006, berada di atas sektor listrik, gas, dan air bersih. Laju pertumbuhan industri kreatif Indonesia tahun 2006 sebesar 7,3% per tahun, melebihi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang 5,6%. (Bisnis Indonesia, 24/10/2007).

Menurut Agung Bawantara (2008), di negara maju Inggris, industri kreatif digenjot untuk menggerakkan perekonomian negara. Hebatnya, sumbangan industri kreatif di negeri ini mencapai 8,7 persen yang melampaui pendapatan Inggris dari sektor industri manufaktur. Di Korea, geliat industri kreatif mengalami pertumbuhan sekitar 20 persen per tahun dan berada pada posisi kedua setelah industri finansial.

Maka pemerintah Indonesia, dalam menunjang keajekan industri kreatif, pada 2006 meluncurkan Indonesian Design Power 2006-2010. Ini dilakukan untuk menggenjot industri kreatif sehingga mampu memberikan pendapatan negara sebesar 10 persen pada 2016. Melihat potensi negara ini, dengan kekayaan budaya dan alam, optimisme mewujudkan program itu bukan isapan jempol. Tentunya dengan memperhatikan pranata pendukung yang dapat mewujudkan cita-cita 10 persen pada tahun 2016.

Pranata yang mesti diperhatikan dalam mengembangkan industri kreatif mulai dari masyarakat lokal, institusi formal (pemerintah), lembaga pendidikan, agen, studio, toko, sampai pada keberadaan komunitas dan institusi. Aspek-aspek yang terkait dengan pengembangan kreativitas, mulai dari proses sampai pemanfaatan sarana informasi dan pengetahuan yang berhubungan dengan perkembangan ekonomi kreatif, sisi teknologi, dan prospek bisnis adalah komoditas yang harus mulai digarap serius.

Jabar Kreatif

Untuk konteks Jawa Barat, potensi ekonomi kreatif telah ada namun perlu kebijakan khusus untuk mengembangkannya. Misalnya, industri kreatif di Kota Bandung, sebagai kota yang dihuni 60 persen kalangan muda di bawah 40 tahun dan tempat berkembangnya perguruan tinggi, industri kreatif tumbuh pesat. Hal ini merupakan potensi besar bagi perkembangan industri kreatif di Jawa Barat. Apalagi sektor industri kreatif menyumbang 7,8 persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jabar. (www.tempointeraktif.com).

Penting kiranya mendorong kemampuan masyarakat (individu) agar mampu berkreasi dan menjadi bagian dari sektor industri kreatif. Maka, hal yang penting diperhatikan untuk mendorong tumbuhnya budaya kreatif. Pertama, pemanfaatan internet dan saluran informasi (information tool) untuk dapat memetik dan mempelajari kreativitas dunia. Kedua, menciptakan pasar domestik dan pasar ekspor yang menyerap berbagai produk kreatif ini. Ketiga, dengan cara menggandeng komunitas kreatif.

Kita tidak bisa berharap kepada APBD dan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) APBN 2009 yang mencapai Rp 23,969 triliun. Itu hanya stimulus. Jawa Barat punya potensi ekonomi kreatif yang besar dan unik. Unik karena tiap daerah punya ciri khas dan terbukti menjadi penggerak ekonomi masyarakat di daerah tersebut. Tahu cibuntu, tahu sumedang, ubi cilembu, tas dan sepatu Cibaduyut, kerajinan rotan Cirebon, kerajinan kulit Garut, dodol garut, factory outlet Kota Bandung, dan sederet potensi ekonomi kreatif yang tak tertandingi dan telah melakukan kegiatan ekspor. Industri ini tak pernah mati karena menjadi bagian dari budaya masyarakat. Namun, tak bisa tumbuh pesat karena belum ada sentuhan serius dari pemerintah.

Pemerintah daerah tidak perlu mencari-cari ke luar daerah apalagi ke luar negeri. Kita telah punya potensi, tinggal dikembangkan dan dikelola dengan baik. ITB, IPB, UIN Bandung, UPI, dan kampus terkemuka lain ada di Jawa Barat. Mengapa tidak, industri kreatif berbasis teknologi dikembangkan melalui kerja sama pemerintah daerah dengan kalangan akademik. Sinergi stakeholder; pemerintah, komunitas kreatif, dunia usaha, kampus, dan masyarakat lokal menjadi penting dilakukan untuk membangun industri kreatif ini.

Ke depan, konsep one village one product (OVOP) bisa dikembangkan, bukan hanya berorientasi pada pasar domestik, tapi juga pasar dunia. Ini soal political will dan merupakan bagian dari pemberdayaan ekonomi masyarakat yang sesungguhnya. Jika ini dikelola dengan serius dan sinergi antar-stakeholder tercipta dengan baik, bukan mustahil jika toko sepatu Cibaduyut menjamur di Eropa dan dodol garut jadi menu orang Asia. Wallahu`alam.***

Penulis, mahasiswa Program S-2 Ekonomi Keuangan Syariah Universitas Indonesia (UI) dan pengajar pada Fakultas Ushuluddin UIN Bandung.

[Pikiran Rakyat, 18 Februari 2009]

Rabu, 11 Februari 2009

TAHUN INDONESIA KREATIF & SDM BERKARAKTER


Oleh Firman Hermana

Setelah diluncurkannya Cetak Biru Ekonomi Kreatif, pemerintah mencanangkan tahun 2009 sebagai Tahun Indonesia Kreatif. Peluang dari tahun ekonomi kreatif yang akan muncul sangat banyak. Sebanyak 5,4 juta (5,9 persen) dari penyerapan tenaga kerja, sebesar 6,3 persennya dari produk domestik bruto (PDB). Terutama untuk pasar dalam negeri sangat besar kontribusinya karena dilakukan oleh pelaku ekonomi kreatif di dalam negeri. Sumbernya, bahan bakunya, dan segala macam yang digunakan, sebagian besar dari dalam negeri.

Nilai perekonomian dari sumbangan ekonomi kreatif Rp 100 triliun di 2006. Kalau diperkirakan pertumbuhannya 6 persen, berarti Rp 112 triliun pada saat ini pertumbuhannya mengikuti ekonomi, kata Menteri Perdagangan Mari E Pangestu. Menurutnya, kinerja dan karya para pelaku 14 sektor industri kreatif akan lebih luas sehingga dapat menciptakan lapangan kerja baru dan memberi kontribusi bagi perekonomian nasional. Pasar produk ekonomi kreatif maupun SDM kreatif masih terbuka lebar yakni sebesar 47 persen dari total penduduk Indonesia atau sebesar 143,8 juta yang usianya di bawah 29 tahun.

Daniel Pink dalam bukunya, The Whole New Mind (2006), mengatakan bahwa sektor-sektor yang bisa dikembangkan oleh negara-negara maju, yang sulit ditiru oleh negara-negara lainnya, adalah sektor yang lebih banyak melibatkan kemampuan otak kanan manusia, seperti aspek art, beauty, design, play, story, humor, symphony, caring, empathy and meaning. Karena ini memerlukan kemampuan spesifik manusia yang melibatkan kreativitas, keahlian, dan bakat. Sedangkan sektor industri dan informasi, lebih banyak memerlukan kemampuan otak kiri (berpikir linier, mekanistik, rutin/hafalan dan parsial). Hal ini berarti kualitas SDM yang diperlukan adalah manusia yang berkarakter dan kreatif.

SDM Berkarakter

Tentunya ini tantangan baru bagi negara-negara yang selama ini lebih memfokuskan pendidikannya pada pengembangan otak kiri manusia. Hal inilah yang telah membuat banyak negara maju merevisi strategi pendidikannya. Misalnya tujuan pendidikan di Korea Selatan di abad ke-21 adalah menempatkan aspek pengembangan kreativitas sebagai prioritas utama. Di Singapura sejak tahun 2005, sistem pendidikannya dinamakan “holistic education” yaitu membangun moral anak didik, intelektual, sosial dan estetika.

Negara yang berhasil adalah yang berproduksi melalui pengembangan industri/ekspansi manufaktur, atau berniaga. Untuk itu, sikap kerja keras, dedikasi dan keahlian (workmanship) yang dimiliki SDM-nya pada semua lini produksi merupakan kunci utama yang harus dimiliki. Artinya, negara tersebut akan memberikan prioritas pada pengembangan karakter SDM yang kondusif untuk sebuah masyarakat produsen (producer society).

Jepang, Korea, Taiwan, dan RRC adalah negara-negara yang terkenal sebagai negara produsen yang andal dan karakter bangsanya terkenal sebagai bangsa yang mempunyai etos kerja tinggi, hemat, dan mau “bersusah-susah dulu” untuk “membangun istana masa depan”. Tak berlebihan menyebut Hong Kong dan Singapura sebagai contoh kawasan kecil yang tak memiliki sumber daya alam, namun keduanya boleh bangga karena termasuk yang terkaya di dunia, karena etos kerja dan kualitas kerjanya yang bagus.

Apabila negara-negara maju merasa semakin sulit untuk dapat bersaing dengan China dan India dalam berbagai sektor industri dan teknologi informasi, bagaimana dengan Indonesia yang rata-rata kualitas SDM-nya masih relatif lebih rendah? Sebetulnya Indonesia mempunyai potensi besar dalam bidang creative economy.

Namun, pertanyaannya adalah apakah kita sudah siap bersaing dengan negara-negara lain yang terus mengembangkan kualitas produk dan jasanya secara kreatif dan inovatif? Selain itu, apakah Indonesia bisa menjadi tempat yang kondusif bagi tumbuhnya manusia-manusia kreatif, berkarakter (jujur, beretos kerja tinggi, disiplin, ramah, baik hati, toleran dan sebagainya), sehingga menarik untuk para investor? Semuanya bermuara dari bagaimana mereka dididik dan dipersiapkan.

Pendidikan yang Membunuh Kreativitas

Sayangnya banyak praktik pembelajaran di sekolah kita justru menghambat berkembangnya kreativitas anak-anak. Menurut Howard Garner, sistem pendidikan yang salah dapat membunuh kreativitas anak-anak sehingga hanya tinggal 10% dari potensinya ketika usia 8 tahun. Ketika salah didik ini berlangsung sampai pada usia 12 tahun, potensi kreativitasnya menurun hingga hanya 2%. Jadi, pendidikan usia dini dan sekolah dasar adalah masa-masa emas untuk mengembangkan potensi kreativitas manusia. Sebesar 95% pertumbuhan otak terjadi pada usia di bawah 12 tahun. Apabila kita salah mendidiknya, pertumbuhan struktur jaringan otak akan terhambat, dan dampaknya adalah permanen.

Sejumlah pakar mengatakan bahwa banyak praktik pendidikan yang dianggap sebagai “creative killers”, dan itu ternyata masih lazim dilakukan di Indonesia. Terlalu menekankan praktik menghafal isi teks buku, sistem tes yang membutuhkan jawaban baku/standar (misalnya benar atau salah, sistem pilihan berganda), serta melatih memori jangka pendek (menghafal hanya untuk bisa menjawab tes, dan akan lupa beberapa hari kemudian) adalah berbahaya bagi perkembangan kreativitas. Cara-cara tersebut hanya mengembangkan kemampuan berpikir yang paling rendah (LOTS-Lower Order Thinking Skills). Setara dengan kemampuan berpikir beo yang bisa dilatih untuk menghafal lagu tertentu. Bayangkan anak-anak didik kita sejak kelas 1 SD sudah dipersiapkan untuk berpikir dengan cara seperti ini, sehingga mereka terbiasa berpikir linier, sederhana atau textbook thinking.

Selain itu, materi pembelajaran yang diberikan secara parsial dan abstrak telah membuat para murid tidak bisa berpikir HOTS (Higher Order Thinking Skills) yaitu konseptual (keterkaitan antarmateri pelajaran serta keterkaitannya dengan kehidupan nyata), berpikir sintesis untuk memberikan solusi/pemecahan masalah, serta berpikir kritis untuk menyaring dan mengolah berbagai informasi yang ada. Proses pembelajaran yang kaku (murid lebih banyak menyimak, tanpa diskusi aktif), beban pelajaran yang terlalu berat, rasa tertekan dan ketakutan siswa akan kegagalan, serta guru yang kaku/galak, melengkapi daftar panjang creative killers yang masih berlangsung dalam proses pendidikan kita. Anak bisa berkembang menjadi pribadi yang rendah diri, takut mengambil risiko, pasif dan tidak berkarakter.

Inilah mungkin yang menyebabkan jumlah wiraswasta kita hanya di bawah 1%, karena untuk menjadi wiraswasta memerlukan kreativitas dan sikap berani mengambil risiko, serta karakter yang percaya diri, disiplin dan beretos kerja tinggi. Oleh karena itu, reformasi pendidikan demi menghasilkan manusia yang kreatif dan HOTS adalah mutlak apabila kita mau berhasil dalam era ekonomi kreatif.

Penulis adalah alumnus University of Gottingen Jerman.

Sinar Harapan, 5 Februari 2009

EKONOMI KREATIF NAIK DAUN


Oleh Darwis SN

Presiden RI pada pembukaaan Pameran Pekan Budaya Indonesia baru-baru ini kembali mengajak untuk bersiap-siap menyambut era Ekonomi Kreatif yang sering disebut sebagai ekonomi gelombang ke-4. Istilah Ekonomi Kreatif pertama kali didengungkan oleh John Howkins, orang Inggris yang menulis buku “Creative Economy, How People Make Money from Ideas”. Dia seorang yang multiprofesi yang selain membuat film juga aktif menyuarakan ekonomi kreatif kepada pemerintah Inggris. Maka, dia banyak terlibat dalam diskusi-diskusi pembentukan kebijakan ekonomi kreatif di kalangan pemerintahan negara-negara Eropa. Menurut definisi Howkins, Ekonomi Kreatif adalah kegiatan ekonomi dimana input dan output-nya adalah Gagasan.

Tokoh berikutnya adalah Richard Florida, seorang doktor ekonomi dari Amerika. Dalam buku-bukunya, “The Rise of Creative Class” dan “Cities and the Creative Class”, dia menyuarakan tentang industri kreatif dan kelas kreatif di masyarakat. Menurut Dr. Florida, “Seluruh umat manusia adalah kreatif, apakah ia seorang pekerja di pabrik kacamata atau seorang remaja di gang senggol yang sedang membuat musik hip-hop. Perbedaanya adalah pada statusnya (kelasnya), karena ada individu-individu yang secara khusus bergelut di bidang kreatif (dan mendapat faedah ekonomi secara langsung dari aktivitas tersebut). Tempat-tempat dan kota-kota yang mampu menciptakan produk-produk baru yang inovatif tercepat akan menjadi pemenang kompetisi di era ekonomi ini”.

Robert Lucas, pemenang Nobel di bidang ekonomi, mengatakan bahwa kekuatan yang menggerakkan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi kota atau daerah dapat dilihat dari tingkat produktivitas klaster orang-orang bertalenta dan orang-orang kreatif atau manusia-manusia yang mengandalkan kemampuan ilmu pengetahuan yang ada pada dirinya.

Ketika sektor industri telah beralih ke negara-negara berkembang karena ongkos produksi yang lebih rendah dengan murahnya upah tenaga kerja, negara-negara maju lebih memfokuskan pada sektor jasa dan teknologi informasi (TI), sehingga keunggulan komparatif negara-negara maju dalam bidang ini tidak mudah tersaingi oleh-negara-negara berkembang. Saat itu, mereka yang bekerja dalam IT mempunyai pendapatan yang jauh lebih tinggi daripada mereka yang bekerja di sektor-sektor lainnya.

Merevisi Strategi Pendidikan

Namun ketika China dan India berhasil mencetak tenaga-tenaga ahli dalam bidang ini dalam jumlah yang amat besar, telah membuat negara-negara maju kerepotan, karena upah tenaga IT menjadi murah. Perubahan cepat teknologi IT juga telah menurunkan harga perangkat lunak dan keras bidang IT. Maka, berkembanglah wacana baru tentang era creative economy; creative industry dan baru-baru ini Bill Gates menggunakan istilah creative capitalism.

Adanya proses globalisasi dengan dunia yang begitu cepat berubah, memerlukan kemampuan manusia yang cepat beradaptasi, cepat berpikir untuk mencari solusi dan imajinatif serta penuh ide untuk dapat mengembangkan strategi/desain/inovasi baru, karena umur sebuah teknologi/produk/desain tidak akan lama. Artinya, negara-negara yang mempunyai keunggulan komparatif dalam sektor creative economy akan menguasai masa depan.

Daniel Pink dalam bukunya The Whole New Mind (2006) mengatakan bahwa sektor-sektor yang bisa dikembangkan oleh negara-negara maju, yang sulit ditiru oleh negara-negara lainnya, adalah sektor yang lebih banyak melibatkan kemampuan otak kanan manusia, seperti aspek art, beauty, design, play, story, humor, symphony, caring, empathy and meaning.

Karena ini memerlukan kemampuan spesifik manusia yang melibatkan kreativitas, keahlian, dan bakat. Sektor industri dan informasi, lebih banyak memerlukan kemampuan otak kiri (berpikir linier, mekanistik, rutin/hafalan dan parsial). Hal ini berarti kualitas SDM yang diperlukan adalah manusia yang berkarakter dan kreatif.

Tentunya ini sebuah tantangan baru bagi negara-negara yang selama ini lebih memfokuskan pendidikannya pada pengembangan otak kiri manusia. Hal inilah yang telah membuat banyak negara-negara maju merevisi strategi pendidikannya.

Misalnya, tujuan pendidikan di Korea Selatan di abad ke-21 adalah menempatkan aspek pengembangan kreativitas sebagai prioritas utama. Di Singapura sejak tahun 2005, sistem pendidikannya dinamakan holistic education, yaitu membangun moral anak didik, intelektual, sosial dan estetika.

Etos Kerja dan SDM Indonesia

Orang percaya bahwa sebuah negara yang berhasil adalah negara yang berproduksi melalui pengembangan industri/ekspansi manufaktur, atau berdagang (merchant). Untuk itu, sikap kerja keras, dedikasi dan keahlian (workmanship) yang dimiliki SDM-nya pada semua lini produksi menjadi kunci utama yang harus dimiliki.

Artinya, negara tersebut akan memberikan prioritas pada pengembangan karakter SDM yang kondusif untuk sebuah masyarakat produsen (producer society). Contohnya Jepang, Korea, Taiwan (dan China daratan yang sekarang sedang pesat tumbuh), adalah negara-negara yang terkenal sebagai negara produsen yang andal, dan karakter bangsanya terkenal mempunyai etos kerja tinggi, hemat, dan mau “bersusah-susah dulu” untuk “membangun istana masa depan”.

Tak berlebihan menyebut Hong Kong dan Singapura sebagai contoh kawasan kecil yang tak memiliki sumberdaya alam, namun keduanya boleh bangga karena termasuk yang terkaya di dunia, karena etos kerja dan kualitas kerjanya yang bagus.

Apabila negara-negara maju merasa semakin sulit untuk dapat bersaing dengan China dan India dalam berbagai sektor industri dan teknologi informasi, bagaimana dengan Indonesia yang rata-rata kualitas SDM-nya masih relatif lebih rendah?

Tentunya banyak tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mengejar ketinggalannya agar bisa bersaing di era globalisasi. Dengan adanya perdagangan bebas dan terbuka AFTA (ASEAN Free Trade Area) yang dimulai sejak 2004, dan APEC (Asia Pasific Economic Cooperation) pada 2020, persaingan antarnegara menjadi head-to-head, di mana negara yang bisa berhasil dalam perekonomian global adalah negara yang bisa memproduksi barang dan jasa dengan cepat, kualitas bagus, harga bersaing, desain menarik, strategi pemasaran yang jitu dan lain-lain.
Kembali lagi, kuncinya adalah kualitas SDM yang semuanya bermuara dari bagaimana mereka dididik dan dipersiapkan.

Sebetulnya Indonesia mempunyai potensi besar dalam bidang creative economy. Namun pertanyaannya adalah, apakah kita sudah siap bersaing dengan negara-negara lain yang terus mengembangkan kualitas produk dan jasanya secara kreatif dan inovatif?

Selain itu, apakah Indonesia bisa menjadi tempat yang kondusif bagi tumbuhnya manusia-manusia kreatif, berkarakter (jujur, beretos kerja tinggi, disiplin, ramah, baik hati, toleran dan sebagainya), sehingga menarik untuk para investor?

Penulis adalah pemerhati kebijakan
publik. Alumnus University of Adelaide Australia.

Sinar Harapan, 27 juni 2008