Oleh Hj. Erni R. Ernawan
Ekonomi kreatif dan industri kreatif mulai marak dibicarakan di Indonesia, kira-kira 2006, karena pemerintah mencatat pertumbuhan ekonomi kreatif 2006 cukup tinggi, bahkan melampaui pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi kreatif di atas rata-rata nasional pada 2006 mencapai 7,3%, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional hanya 5,6%. Selama 2002-2006, industri kreatif menyerap sekitar 5,9 juta pekerja dan menyumbang Rp 81,5 triliun atau 9,13% terhadap total ekspor nasional.
Sejumlah kota-kota besar dengan dimotori anak-anak muda, akhir-akhir ini menyambut datangnya wacana ekonomi kreatif. Ekonomi yang lebih mengedepankan kreativitas dan inovasi sebagai motor penggerak ekonomi. Di Bandung misalnya, beberapa tahun ini sejumlah seminar tentang industri kreatif diselenggarakan, sejumlah lembaga seperti Center For Inovation Enterpreneurship & Leadership (CIEL) yang merupakan bagian dari Sekolah Bisnis Manajemen ITB bekerja sama dengan Departemen Industri dan Perdagangan, merancang strategi pengembangan industri kreatif di Jawa Barat.
Banyak yang menyatakan ekonomi kreatif adalah ekonomi gelombang keempat, yang berorientasi pada kreativitas, budaya, serta warisan budaya, dan lingkungan. Pembagian gelombang itu sebenarnya kelanjutan dari teori Alvin Toffler, yang membagi peradaban ke dalam tiga gelombang, yaitu gelombang pertama adalah abad pertanian, gelombang kedua abad industri, dan gelombang ketiga abad informasi, serta gelombang keempat yang dinamakan dengan ekonomi kreatif.
UNESCO pada 2003, mengeluarkan rilis resmi mengenai definisi industri kreatif ini sebagai suatu kegiatan yang menciptakan pengetahuan, produk, dan jasa yang orisinal, berupa hasil karya sendiri. Salah satu negara yang sangat giat menyosialisasikan ekonomi kreatif adalah Inggris. Pemerintah Inggris menyediakan dana bantuan 6 juta poundsterling (sekitar Rp 108 miliar), untuk mendukung pengembangan industri kreatif di berbagai negara berkembang.
Agenda untuk kita
Realitas dan fenomena ekonomi kreatif, sebenarnya bukanlah hal baru bagi
Sudah jelas, untuk menghasilkan sesuatu yang berdaya saing, dibutuhkan SDM yang baik, yaitu talenta. John Howkins menyebut mereka sebagai orang yang hidup dari penciptaan gagasan dan mengeksploitasinya dengan berbagai cara.
Teknologi sudah menjadi keharusan dan berperan dalam mempercepat, meningkatkan kualitas, dan mempermudah kegiatan bisnis dan bersosial. Dewasa ini semakin banyak pekerjaan manusia, yang digantikan teknologi membuat manusia sebagai operatornya memiliki lebih banyak waktu untuk memikirkan gagasan-gagasan baru. Jika pernyataan ini saya balik, maka menjadi demikian: semakin manusia direpotkan oleh aktivitas fisik dan tidak dibantu teknologi, sebagian besar waktu manusia akan habis terbuang untuk urusan teknis. Dalam arti lain, teknologi menunjang produktivitas. Dengan demikian, kemudahan mengakses dan membeli teknologi, transfer teknologi adalah faktor penting dalam pembangunan ekonomi kreatif. Contoh dalam penggunaan perangkat lunak. Bagi negara berkembang seperti
Tentu saja 3T ini bukan satu-satunya faktor penggerak ekonomi kreatif, karena pada dasarnya "seluruh umat manusia adalah kreatif, apakah ia seorang pekerja di pabrik kacamata atau remaja di gang senggol yang sedang membuat musik hip-hop. Namun, perbedaannya adalah pada statusnya (kelasnya), karena ada individu-individu yang secara khusus bergelut di bidang kreatif (dan mendapat faedah ekonomi secara langsung dari aktivitas tersebut). Tempat-tempat dan kota-kota mampu menciptakan produk-produk baru yang inovatif tercepat, akan menjadi pemenang kompetisi di era ekonomi ini".
Dengan semangat Tahun Baru Hijriyah 1430 dan Tahun Baru Masehi 2009, semoga kita siap sebagai pemenangnya!***
Penulis, Sekretaris Lembaga Penelitian Universitas Pasundan dan dosen Kopertis Wilayah IV dpk. Fakultas Ekonomi Unpas.
[Pikiran Rakyat, 31 Desember 2008]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar