Senin, 05 Januari 2009

AWAL PENCANANGAN EKONOMI KREATIF


Oleh Hj. Erni R. Ernawan

Ada pertanyaan yang muncul mengapa peringatan Hari Ibu yang lalu dilaksanakan bersamaan dengan Pencanangan Tahun Indonesia Kreatif 2009. Hal itu, didasarkan pada kenyataan bahwa kaum perempuan Indonesia yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari warga negara dan sebagai pejuang bangsa antara lain, membangun bangsa sendiri menyeluruh sesuai dengan kodrat dan kemajuannya. Pengembangan ekonomi kreatif, membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan kreatif. Kreativitas SDM perlu dibentuk sejak dini, dimulai dari pendidikan di dalam lingkungan keluarga di mana peran sangat menentukan antara lain mendidik putra-putrinya. Dengan demikian, jelas terlihat bahwa didikan seorang ibu sangat berperan dalam membentuk insan kreatif bagi bangsa Indonesia, yang akan menentukan perkembangan ekonomi kreatif.

Ekonomi kreatif dan industri kreatif mulai marak dibicarakan di Indonesia, kira-kira 2006, karena pemerintah mencatat pertumbuhan ekonomi kreatif 2006 cukup tinggi, bahkan melampaui pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi kreatif di atas rata-rata nasional pada 2006 mencapai 7,3%, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional hanya 5,6%. Selama 2002-2006, industri kreatif menyerap sekitar 5,9 juta pekerja dan menyumbang Rp 81,5 triliun atau 9,13% terhadap total ekspor nasional.

Sejumlah kota-kota besar dengan dimotori anak-anak muda, akhir-akhir ini menyambut datangnya wacana ekonomi kreatif. Ekonomi yang lebih mengedepankan kreativitas dan inovasi sebagai motor penggerak ekonomi. Di Bandung misalnya, beberapa tahun ini sejumlah seminar tentang industri kreatif diselenggarakan, sejumlah lembaga seperti Center For Inovation Enterpreneurship & Leadership (CIEL) yang merupakan bagian dari Sekolah Bisnis Manajemen ITB bekerja sama dengan Departemen Industri dan Perdagangan, merancang strategi pengembangan industri kreatif di Jawa Barat.

Banyak yang menyatakan ekonomi kreatif adalah ekonomi gelombang keempat, yang berorientasi pada kreativitas, budaya, serta warisan budaya, dan lingkungan. Pembagian gelombang itu sebenarnya kelanjutan dari teori Alvin Toffler, yang membagi peradaban ke dalam tiga gelombang, yaitu gelombang pertama adalah abad pertanian, gelombang kedua abad industri, dan gelombang ketiga abad informasi, serta gelombang keempat yang dinamakan dengan ekonomi kreatif.

UNESCO pada 2003, mengeluarkan rilis resmi mengenai definisi industri kreatif ini sebagai suatu kegiatan yang menciptakan pengetahuan, produk, dan jasa yang orisinal, berupa hasil karya sendiri. Salah satu negara yang sangat giat menyosialisasikan ekonomi kreatif adalah Inggris. Pemerintah Inggris menyediakan dana bantuan 6 juta poundsterling (sekitar Rp 108 miliar), untuk mendukung pengembangan industri kreatif di berbagai negara berkembang.

Agenda untuk kita

Realitas dan fenomena ekonomi kreatif, sebenarnya bukanlah hal baru bagi Indonesia yang telah terbukti memiliki aset kreativitas sejak dulu. "Indonesia tidak kekurangan modal kreativitas, hanya kekurangan kemampuan mengintegrasikannya". Untuk itu, langkah yang dibentuk adalah mengamati apa yang kita miliki (jati diri bangsa dan potensi SDA dan SDM). Berikut ini ada tiga faktor penggerak yang penting akan penciptaan dan pembangunan industri kreatif yang disebut 3 T, talenta, toleransi, dan teknologi (Florida).

Sudah jelas, untuk menghasilkan sesuatu yang berdaya saing, dibutuhkan SDM yang baik, yaitu talenta. John Howkins menyebut mereka sebagai orang yang hidup dari penciptaan gagasan dan mengeksploitasinya dengan berbagai cara. Florida mengklasifikasi kelas ini, ada yang bernuansa akademik (universitas), berorientasi teknologi (tech-pole), bernuansa artistik (bohemian), pendatang (imigran; warga negara keturunan etnis tertentu). Tom Peters mengatakan, "Bila Anda ingin inovatif, gampang saja, bergaullah dengan orang-orang aneh dan Anda akan bertambah kreatif. Tapi, jika Anda bergaul dengan orang-orang yang membosankan, Anda akan semakin membosankan juga."

Florida mengatakan, lapangan pekerjaan akan tercipta di tempat-tempat di mana terdapat konsentrasi yang tinggi dari pekerja kreatif, bukan kebalikannya. Orang-orang yang memiliki talenta tinggi memiliki daya tawar yang tinggi, mereka memiliki banyak alternatif karena permintaan tinggi. Bila mereka ditawari pekerjaan di daerah-daerah sepi dan membosankan, mereka cenderung akan menolak, maka yang lebih berkepentingan adalah user dari pekerja kreatif ini dan user akan mengalah, asalkan mereka mendapat SDM yang berkualitas. Apa hubungannya dengan toleransi? Ini berkaitan dengan iklim keterbukaan. Bila suatu daerah memiliki tingkat toleransi tinggi terhadap gagasan-gagasan yang gila dan kontroversial, serta mendukung orang-orang berani berbeda, iklim penciptaan kreativitas dan inovasi akan semakin kondusif, karena pekerja kreatif dapat bebas mengekpresikan gagasannya. Termasuk dalam toleransi adalah kemudahan memulai usaha baru dan ketersediaan kanal-kanal solusi finansial untuk mengembangkan bisnis.

Teknologi sudah menjadi keharusan dan berperan dalam mempercepat, meningkatkan kualitas, dan mempermudah kegiatan bisnis dan bersosial. Dewasa ini semakin banyak pekerjaan manusia, yang digantikan teknologi membuat manusia sebagai operatornya memiliki lebih banyak waktu untuk memikirkan gagasan-gagasan baru. Jika pernyataan ini saya balik, maka menjadi demikian: semakin manusia direpotkan oleh aktivitas fisik dan tidak dibantu teknologi, sebagian besar waktu manusia akan habis terbuang untuk urusan teknis. Dalam arti lain, teknologi menunjang produktivitas. Dengan demikian, kemudahan mengakses dan membeli teknologi, transfer teknologi adalah faktor penting dalam pembangunan ekonomi kreatif. Contoh dalam penggunaan perangkat lunak. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, pembelian lisensi perangkat lunak adalah kendala besar, karena harga perangkat lunak di Jakarta relatif sama dengan harga di New York. Ini adalah faktor penghambat kelancaran lahirnya industri-industri baru.

Tentu saja 3T ini bukan satu-satunya faktor penggerak ekonomi kreatif, karena pada dasarnya "seluruh umat manusia adalah kreatif, apakah ia seorang pekerja di pabrik kacamata atau remaja di gang senggol yang sedang membuat musik hip-hop. Namun, perbedaannya adalah pada statusnya (kelasnya), karena ada individu-individu yang secara khusus bergelut di bidang kreatif (dan mendapat faedah ekonomi secara langsung dari aktivitas tersebut). Tempat-tempat dan kota-kota mampu menciptakan produk-produk baru yang inovatif tercepat, akan menjadi pemenang kompetisi di era ekonomi ini".

Dengan semangat Tahun Baru Hijriyah 1430 dan Tahun Baru Masehi 2009, semoga kita siap sebagai pemenangnya!***

Penulis, Sekretaris Lembaga Penelitian Universitas Pasundan dan dosen Kopertis Wilayah IV dpk. Fakultas Ekonomi Unpas.

[Pikiran Rakyat, 31 Desember 2008]

Tidak ada komentar: