Rabu, 11 Februari 2009

TAHUN INDONESIA KREATIF & SDM BERKARAKTER


Oleh Firman Hermana

Setelah diluncurkannya Cetak Biru Ekonomi Kreatif, pemerintah mencanangkan tahun 2009 sebagai Tahun Indonesia Kreatif. Peluang dari tahun ekonomi kreatif yang akan muncul sangat banyak. Sebanyak 5,4 juta (5,9 persen) dari penyerapan tenaga kerja, sebesar 6,3 persennya dari produk domestik bruto (PDB). Terutama untuk pasar dalam negeri sangat besar kontribusinya karena dilakukan oleh pelaku ekonomi kreatif di dalam negeri. Sumbernya, bahan bakunya, dan segala macam yang digunakan, sebagian besar dari dalam negeri.

Nilai perekonomian dari sumbangan ekonomi kreatif Rp 100 triliun di 2006. Kalau diperkirakan pertumbuhannya 6 persen, berarti Rp 112 triliun pada saat ini pertumbuhannya mengikuti ekonomi, kata Menteri Perdagangan Mari E Pangestu. Menurutnya, kinerja dan karya para pelaku 14 sektor industri kreatif akan lebih luas sehingga dapat menciptakan lapangan kerja baru dan memberi kontribusi bagi perekonomian nasional. Pasar produk ekonomi kreatif maupun SDM kreatif masih terbuka lebar yakni sebesar 47 persen dari total penduduk Indonesia atau sebesar 143,8 juta yang usianya di bawah 29 tahun.

Daniel Pink dalam bukunya, The Whole New Mind (2006), mengatakan bahwa sektor-sektor yang bisa dikembangkan oleh negara-negara maju, yang sulit ditiru oleh negara-negara lainnya, adalah sektor yang lebih banyak melibatkan kemampuan otak kanan manusia, seperti aspek art, beauty, design, play, story, humor, symphony, caring, empathy and meaning. Karena ini memerlukan kemampuan spesifik manusia yang melibatkan kreativitas, keahlian, dan bakat. Sedangkan sektor industri dan informasi, lebih banyak memerlukan kemampuan otak kiri (berpikir linier, mekanistik, rutin/hafalan dan parsial). Hal ini berarti kualitas SDM yang diperlukan adalah manusia yang berkarakter dan kreatif.

SDM Berkarakter

Tentunya ini tantangan baru bagi negara-negara yang selama ini lebih memfokuskan pendidikannya pada pengembangan otak kiri manusia. Hal inilah yang telah membuat banyak negara maju merevisi strategi pendidikannya. Misalnya tujuan pendidikan di Korea Selatan di abad ke-21 adalah menempatkan aspek pengembangan kreativitas sebagai prioritas utama. Di Singapura sejak tahun 2005, sistem pendidikannya dinamakan “holistic education” yaitu membangun moral anak didik, intelektual, sosial dan estetika.

Negara yang berhasil adalah yang berproduksi melalui pengembangan industri/ekspansi manufaktur, atau berniaga. Untuk itu, sikap kerja keras, dedikasi dan keahlian (workmanship) yang dimiliki SDM-nya pada semua lini produksi merupakan kunci utama yang harus dimiliki. Artinya, negara tersebut akan memberikan prioritas pada pengembangan karakter SDM yang kondusif untuk sebuah masyarakat produsen (producer society).

Jepang, Korea, Taiwan, dan RRC adalah negara-negara yang terkenal sebagai negara produsen yang andal dan karakter bangsanya terkenal sebagai bangsa yang mempunyai etos kerja tinggi, hemat, dan mau “bersusah-susah dulu” untuk “membangun istana masa depan”. Tak berlebihan menyebut Hong Kong dan Singapura sebagai contoh kawasan kecil yang tak memiliki sumber daya alam, namun keduanya boleh bangga karena termasuk yang terkaya di dunia, karena etos kerja dan kualitas kerjanya yang bagus.

Apabila negara-negara maju merasa semakin sulit untuk dapat bersaing dengan China dan India dalam berbagai sektor industri dan teknologi informasi, bagaimana dengan Indonesia yang rata-rata kualitas SDM-nya masih relatif lebih rendah? Sebetulnya Indonesia mempunyai potensi besar dalam bidang creative economy.

Namun, pertanyaannya adalah apakah kita sudah siap bersaing dengan negara-negara lain yang terus mengembangkan kualitas produk dan jasanya secara kreatif dan inovatif? Selain itu, apakah Indonesia bisa menjadi tempat yang kondusif bagi tumbuhnya manusia-manusia kreatif, berkarakter (jujur, beretos kerja tinggi, disiplin, ramah, baik hati, toleran dan sebagainya), sehingga menarik untuk para investor? Semuanya bermuara dari bagaimana mereka dididik dan dipersiapkan.

Pendidikan yang Membunuh Kreativitas

Sayangnya banyak praktik pembelajaran di sekolah kita justru menghambat berkembangnya kreativitas anak-anak. Menurut Howard Garner, sistem pendidikan yang salah dapat membunuh kreativitas anak-anak sehingga hanya tinggal 10% dari potensinya ketika usia 8 tahun. Ketika salah didik ini berlangsung sampai pada usia 12 tahun, potensi kreativitasnya menurun hingga hanya 2%. Jadi, pendidikan usia dini dan sekolah dasar adalah masa-masa emas untuk mengembangkan potensi kreativitas manusia. Sebesar 95% pertumbuhan otak terjadi pada usia di bawah 12 tahun. Apabila kita salah mendidiknya, pertumbuhan struktur jaringan otak akan terhambat, dan dampaknya adalah permanen.

Sejumlah pakar mengatakan bahwa banyak praktik pendidikan yang dianggap sebagai “creative killers”, dan itu ternyata masih lazim dilakukan di Indonesia. Terlalu menekankan praktik menghafal isi teks buku, sistem tes yang membutuhkan jawaban baku/standar (misalnya benar atau salah, sistem pilihan berganda), serta melatih memori jangka pendek (menghafal hanya untuk bisa menjawab tes, dan akan lupa beberapa hari kemudian) adalah berbahaya bagi perkembangan kreativitas. Cara-cara tersebut hanya mengembangkan kemampuan berpikir yang paling rendah (LOTS-Lower Order Thinking Skills). Setara dengan kemampuan berpikir beo yang bisa dilatih untuk menghafal lagu tertentu. Bayangkan anak-anak didik kita sejak kelas 1 SD sudah dipersiapkan untuk berpikir dengan cara seperti ini, sehingga mereka terbiasa berpikir linier, sederhana atau textbook thinking.

Selain itu, materi pembelajaran yang diberikan secara parsial dan abstrak telah membuat para murid tidak bisa berpikir HOTS (Higher Order Thinking Skills) yaitu konseptual (keterkaitan antarmateri pelajaran serta keterkaitannya dengan kehidupan nyata), berpikir sintesis untuk memberikan solusi/pemecahan masalah, serta berpikir kritis untuk menyaring dan mengolah berbagai informasi yang ada. Proses pembelajaran yang kaku (murid lebih banyak menyimak, tanpa diskusi aktif), beban pelajaran yang terlalu berat, rasa tertekan dan ketakutan siswa akan kegagalan, serta guru yang kaku/galak, melengkapi daftar panjang creative killers yang masih berlangsung dalam proses pendidikan kita. Anak bisa berkembang menjadi pribadi yang rendah diri, takut mengambil risiko, pasif dan tidak berkarakter.

Inilah mungkin yang menyebabkan jumlah wiraswasta kita hanya di bawah 1%, karena untuk menjadi wiraswasta memerlukan kreativitas dan sikap berani mengambil risiko, serta karakter yang percaya diri, disiplin dan beretos kerja tinggi. Oleh karena itu, reformasi pendidikan demi menghasilkan manusia yang kreatif dan HOTS adalah mutlak apabila kita mau berhasil dalam era ekonomi kreatif.

Penulis adalah alumnus University of Gottingen Jerman.

Sinar Harapan, 5 Februari 2009

Tidak ada komentar: