Rabu, 11 Februari 2009

EKONOMI KREATIF NAIK DAUN


Oleh Darwis SN

Presiden RI pada pembukaaan Pameran Pekan Budaya Indonesia baru-baru ini kembali mengajak untuk bersiap-siap menyambut era Ekonomi Kreatif yang sering disebut sebagai ekonomi gelombang ke-4. Istilah Ekonomi Kreatif pertama kali didengungkan oleh John Howkins, orang Inggris yang menulis buku “Creative Economy, How People Make Money from Ideas”. Dia seorang yang multiprofesi yang selain membuat film juga aktif menyuarakan ekonomi kreatif kepada pemerintah Inggris. Maka, dia banyak terlibat dalam diskusi-diskusi pembentukan kebijakan ekonomi kreatif di kalangan pemerintahan negara-negara Eropa. Menurut definisi Howkins, Ekonomi Kreatif adalah kegiatan ekonomi dimana input dan output-nya adalah Gagasan.

Tokoh berikutnya adalah Richard Florida, seorang doktor ekonomi dari Amerika. Dalam buku-bukunya, “The Rise of Creative Class” dan “Cities and the Creative Class”, dia menyuarakan tentang industri kreatif dan kelas kreatif di masyarakat. Menurut Dr. Florida, “Seluruh umat manusia adalah kreatif, apakah ia seorang pekerja di pabrik kacamata atau seorang remaja di gang senggol yang sedang membuat musik hip-hop. Perbedaanya adalah pada statusnya (kelasnya), karena ada individu-individu yang secara khusus bergelut di bidang kreatif (dan mendapat faedah ekonomi secara langsung dari aktivitas tersebut). Tempat-tempat dan kota-kota yang mampu menciptakan produk-produk baru yang inovatif tercepat akan menjadi pemenang kompetisi di era ekonomi ini”.

Robert Lucas, pemenang Nobel di bidang ekonomi, mengatakan bahwa kekuatan yang menggerakkan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi kota atau daerah dapat dilihat dari tingkat produktivitas klaster orang-orang bertalenta dan orang-orang kreatif atau manusia-manusia yang mengandalkan kemampuan ilmu pengetahuan yang ada pada dirinya.

Ketika sektor industri telah beralih ke negara-negara berkembang karena ongkos produksi yang lebih rendah dengan murahnya upah tenaga kerja, negara-negara maju lebih memfokuskan pada sektor jasa dan teknologi informasi (TI), sehingga keunggulan komparatif negara-negara maju dalam bidang ini tidak mudah tersaingi oleh-negara-negara berkembang. Saat itu, mereka yang bekerja dalam IT mempunyai pendapatan yang jauh lebih tinggi daripada mereka yang bekerja di sektor-sektor lainnya.

Merevisi Strategi Pendidikan

Namun ketika China dan India berhasil mencetak tenaga-tenaga ahli dalam bidang ini dalam jumlah yang amat besar, telah membuat negara-negara maju kerepotan, karena upah tenaga IT menjadi murah. Perubahan cepat teknologi IT juga telah menurunkan harga perangkat lunak dan keras bidang IT. Maka, berkembanglah wacana baru tentang era creative economy; creative industry dan baru-baru ini Bill Gates menggunakan istilah creative capitalism.

Adanya proses globalisasi dengan dunia yang begitu cepat berubah, memerlukan kemampuan manusia yang cepat beradaptasi, cepat berpikir untuk mencari solusi dan imajinatif serta penuh ide untuk dapat mengembangkan strategi/desain/inovasi baru, karena umur sebuah teknologi/produk/desain tidak akan lama. Artinya, negara-negara yang mempunyai keunggulan komparatif dalam sektor creative economy akan menguasai masa depan.

Daniel Pink dalam bukunya The Whole New Mind (2006) mengatakan bahwa sektor-sektor yang bisa dikembangkan oleh negara-negara maju, yang sulit ditiru oleh negara-negara lainnya, adalah sektor yang lebih banyak melibatkan kemampuan otak kanan manusia, seperti aspek art, beauty, design, play, story, humor, symphony, caring, empathy and meaning.

Karena ini memerlukan kemampuan spesifik manusia yang melibatkan kreativitas, keahlian, dan bakat. Sektor industri dan informasi, lebih banyak memerlukan kemampuan otak kiri (berpikir linier, mekanistik, rutin/hafalan dan parsial). Hal ini berarti kualitas SDM yang diperlukan adalah manusia yang berkarakter dan kreatif.

Tentunya ini sebuah tantangan baru bagi negara-negara yang selama ini lebih memfokuskan pendidikannya pada pengembangan otak kiri manusia. Hal inilah yang telah membuat banyak negara-negara maju merevisi strategi pendidikannya.

Misalnya, tujuan pendidikan di Korea Selatan di abad ke-21 adalah menempatkan aspek pengembangan kreativitas sebagai prioritas utama. Di Singapura sejak tahun 2005, sistem pendidikannya dinamakan holistic education, yaitu membangun moral anak didik, intelektual, sosial dan estetika.

Etos Kerja dan SDM Indonesia

Orang percaya bahwa sebuah negara yang berhasil adalah negara yang berproduksi melalui pengembangan industri/ekspansi manufaktur, atau berdagang (merchant). Untuk itu, sikap kerja keras, dedikasi dan keahlian (workmanship) yang dimiliki SDM-nya pada semua lini produksi menjadi kunci utama yang harus dimiliki.

Artinya, negara tersebut akan memberikan prioritas pada pengembangan karakter SDM yang kondusif untuk sebuah masyarakat produsen (producer society). Contohnya Jepang, Korea, Taiwan (dan China daratan yang sekarang sedang pesat tumbuh), adalah negara-negara yang terkenal sebagai negara produsen yang andal, dan karakter bangsanya terkenal mempunyai etos kerja tinggi, hemat, dan mau “bersusah-susah dulu” untuk “membangun istana masa depan”.

Tak berlebihan menyebut Hong Kong dan Singapura sebagai contoh kawasan kecil yang tak memiliki sumberdaya alam, namun keduanya boleh bangga karena termasuk yang terkaya di dunia, karena etos kerja dan kualitas kerjanya yang bagus.

Apabila negara-negara maju merasa semakin sulit untuk dapat bersaing dengan China dan India dalam berbagai sektor industri dan teknologi informasi, bagaimana dengan Indonesia yang rata-rata kualitas SDM-nya masih relatif lebih rendah?

Tentunya banyak tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mengejar ketinggalannya agar bisa bersaing di era globalisasi. Dengan adanya perdagangan bebas dan terbuka AFTA (ASEAN Free Trade Area) yang dimulai sejak 2004, dan APEC (Asia Pasific Economic Cooperation) pada 2020, persaingan antarnegara menjadi head-to-head, di mana negara yang bisa berhasil dalam perekonomian global adalah negara yang bisa memproduksi barang dan jasa dengan cepat, kualitas bagus, harga bersaing, desain menarik, strategi pemasaran yang jitu dan lain-lain.
Kembali lagi, kuncinya adalah kualitas SDM yang semuanya bermuara dari bagaimana mereka dididik dan dipersiapkan.

Sebetulnya Indonesia mempunyai potensi besar dalam bidang creative economy. Namun pertanyaannya adalah, apakah kita sudah siap bersaing dengan negara-negara lain yang terus mengembangkan kualitas produk dan jasanya secara kreatif dan inovatif?

Selain itu, apakah Indonesia bisa menjadi tempat yang kondusif bagi tumbuhnya manusia-manusia kreatif, berkarakter (jujur, beretos kerja tinggi, disiplin, ramah, baik hati, toleran dan sebagainya), sehingga menarik untuk para investor?

Penulis adalah pemerhati kebijakan
publik. Alumnus University of Adelaide Australia.

Sinar Harapan, 27 juni 2008

Tidak ada komentar: