Minggu, 14 Desember 2008

EKOSISTEM KOMUNITAS KREATIF



Oleh Wanda Listiani

Keberadaan komunitas seolah menjadi cahaya di tengah krisis keuangan global saat ini. Dari hasil studi yang dilakukan Bappeda Kota Bandung (10/12/08), terdapat 5.291 komunitas kreatif di Kota Bandung. Data ini menarik karena komunitas tidak lagi dianggap sebagai tempat menghabiskan waktu (leisure), melainkan menjadi salah satu pilihan strategi bertahan hidup anggotanya di tengah kesulitan ekonomi yang mengimpit mereka.

Bandung dikenal sebagai pelopor industri desain (fashion dan tekstil) yang didominasi remaja sebagai pelaku industri dan budaya khas remaja (youth culture). Industri ini sejak 1970-an dikenal dengan kekuatan utamanya pada desain, keragaman bahan baku dan kekhususan merek, serta keunikan produk. Pertumbuhan distro dan clothing di Indonesia juga sudah mencapai 750 unit, 300 unit di antaranya tersebar di Bandung dengan pelaku usaha berumur antara 20 tahun-30 tahun.

Industri kreatif Bandung mempunyai keunikan khusus karena muncul dari komunitas. Walaupun ada juga dari industri rumahan. Berbeda dengan di Inggris, sebagai pelopor munculnya industri kreatif yang berasal dari industri rumahan (home industry). Bandung merupakan tempat yang kondusif untuk perkembangan kreativitas karena faktor toleransinya yang begitu tinggi dibandingkan dengan kota lain di Indonesia. Menurut Richard Florida (2003), tempat merupakan hal yang esensi untuk pertumbuhan ekonomi kreatif.

Berkembangnya usaha anggota komunitas menjadi industri kreatif menjadi fenomena baru bagi pertumbuhan ekonomi kreatif di Bandung. Usaha yang pada awalnya untuk pemenuhan kebutuhan anggota komunitas menjadi bisnis baru yang juga dikonsumsi masyarakat konsumen.

Jejaring komunitas

Merealisasikan ide menjadi sebuah karya atau produk, tidak mudah bagi setiap orang. Mereka memerlukan jejaring atau "pertemuan" dengan yang lain. Sumber ekonomi kreatif yang dapat lebih berkembang dalam jejaring komunitas seperti fashion (pakaian, sepatu, tas, pernak-pernik perhiasan/aksesori), desain, musik, seni pertunjukan, buku, dan penerbitan.

Perkembangan industri komunitas kreatif ini juga memberikan sisi negatifnya yaitu dominasi kelas tertentu atas kelas yang lain, monopoli, dan maraknya pembajakan karya. Pembajakan karya disikapi para pekerja kreatif dengan penciptaan karya terbaru. Pembajakan menurut salah satu pemilik distro terkenal di Bandung, dianggap sebagai sarana promosi gratis bagi distronya.

Jejaring tidak hanya terbatas antarproduk kreatif sejenis dan komunitasnya, melainkan antarkomunitas dan kota di luar Bandung lewat teknologi internet. Bnym (Day, 2006: 228) menyebutnya sebagai komunitas online. Komunitas online adalah kelompok pertemanan di mana seseorang mempunyai seperangkat kegiatan, koneksi dengan perkembangan dunia serta saling berelasi (relationships). Amitai Etzioni (Day, 2006: 15) mengidentifikasikan komunitas kreatif merupakan tempat di mana orang saling tahu dan peduli dengan yang lain. Dengan kata lain, mengadakan jaringan timbal balik dan peduli.

Mekanisme persaingan

Untuk mengatur mekanisme persaingan, pemerintah pusat telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 28 Tahun 2008 tentang kebijakan industri nasional. Kebijakan yang memberikan fasilitas insentif fiskal, insentif nonfiskal, dan kemudahan lain sesuai peraturan yang berlaku. Kebijakan yang seharusnya bersinergi dengan kebijakan pemerintah kota maupun daerah sehingga diharapkan kebijakan dalam struktur ruang metropolitan Bandung menurut MBUDP (Metropolitan Bandung Urban Development Programme) pada tahun 2015 antara lain berfokus pada, satu, pengembangan konsep dekosentrasi kegiatan perkotaan melalui peningkatan pertumbuhan di lima kota kecil, yaitu Padalarang, Soreang, Banjaran, Majalaya, dan Cicalengka. Kedua, pembatasan pertumbuhan terutama ke kawasan konservasi di bagian utara dan antara jalan tol panci dan Citarum (kawasan penyangga). Tiga, pembatasan pengembangan industri (di Batujajar, Cimahi Selatan, dan Padalarang). Empat, pengembangan jalur terbuka hijau sepanjang Sungai Citarum (Majalaya sampai ke Saguling). Lima, perlindungan terhadap kawasan Sungai Citarum dan Waduk Saguling. Enam, pengembangan kegiatan perumahan (Batujajar, Banjaran, Ciparay, Rancaekek, dan Cicalengka) dapat terlaksana.

Kebijakan struktur ruang Metropolitan Bandung 2015 selaras dengan temuan potensi ekonomi kreatif yang terkosentrasi pada enam wilayah pemetaan yaitu, pertama wilayah Bojonegara (12 sektor industri kreatif tambah sektor kuliner). Kedua, wilayah Cibeunying (14 sektor industri kreatif tambah sektor kuliner). Ketiga, wilayah Tegallega (9 sektor industri kreatif tambah wisata kuliner). Keempat, wilayah Karees (12 sektor industri kreatif tambah sektor kuliner). Kelima, wilayah Ujungberung. Keenam, wilayah Gedebage dengan masing-masing 3 sektor industri kreatif dan sektor kuliner. Penyebaran ekonomi kreatif yang merata merupakan peluang pemerintah kota menjadikan Bandung sebagai kota kreatif. Salah satu strategi membangun kluster komunitas dan memberikan insentif serta ruang berkreasi bagi mereka.

Ekosistem kreatif

Individu dalam berinteraksi di komunitas melakukan berbagai hal seperti diskusi, komunikasi, interpretasi antara satu sama lain, dan berbagi perspektif. Mereka melakukan kombinasi dan rekombinasi atau kegiatan kreatif dalam komunitas (Charon, 1998 : 68). Mereka belajar dari interaksi untuk menjadi individu kreatif, aktif, dan membentuk. Untuk itu, mereka memerlukan ekosistem yang mendukung kreativitas.

Ekosistem kreatif adalah suasana atau lingkungan yang memenuhi syarat antara lain pertama, toleransi. Toleransi yang dimaksud adalah keterbukaan atas perbedaan etnis, ras, agama, dan latar belakang hidup. Toleransi ini didukung dengan keyakinan bahwa setiap orang mempunyai kemampuan (talenta) yang unik dan kreatif. Kedua, ruang terbuka yang mempunyai fasilitas listrik dan jaringan internet gratis. Ruang semacam inilah yang disebut oleh Charles Landry (2007 : 335) dalam bukunya The Art of City Making sebagai ruang publik alternatif.

Fasilitas ruang alternatif kota mempunyai manfaat pemicu perkembangan ekonomi kreatif perkotaan di tengah krisis keuangan global. Kedua, bentuk jaminan pemerintah kota atas kebebasan berekspresi, misalnya pengadaan konser musik dan tempat berjejaring di ruang terbuka. Ketiga, sebagai upaya mengurangi tingkat kriminalitas dan pengangguran perkotaan. Terakhir, sarana dan tempat pertemuan pada sumber-sumber ekonomi kreatif baik industri maupun komunitas. Fasilitas yang semoga dapat dinikmati semua kalangan masyarakat. ***

Penulis, mahasiswa Program Doktor UGM, peneliti Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB.

Sumber: Pikiran Rakyat, 15 Desember 2008

Tidak ada komentar: