Selasa, 02 Desember 2008

INDUSTRI KREATIF, POTENSI BESAR YANG BELUM DIPRIORITASKAN


Oleh Rachmat Gobel

Bersamaan dengan penyelenggaraan Pameran Produk Budaya Indonesia (PPBI) ke-2 pada 4-8 Juni 2008, pemerintah meluncurkan buku biru (blue print) tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif 2025. Upaya ini di antaranya digagas oleh Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu.

Ini merupakan langkah positif, karena di masa depan sektor ekonomi kreatif menjadi motor penggerak perekonomian dunia. Hal ini ditandai dengan peningkatan pertumbuhan dan peran ekonomi kreatif atau industri kreatif secara signifikan, meninggalkan sektor pertanian, industri, dan teknologi informasi.

Pasar ekonomi kreatif yang tumbuh di atas rata-rata perekonomian global membuat banyak negara, terutama negara maju, melirik ke sektor ini. Dengan tingkat pertumbuhan 5% per tahun, nilai ekonomi kreatif secara global pada 2020 diperkirakan mencapai US$6,1 triliun.

Beberapa negara Asia, seperti India, China, Malaysia, Thailand, dan Singapura secara serius mulai menggarap sektor ini. Thailand melalui Thailand Design Center, misalnya, tengah 'berjibaku' untuk mengangkat sektor ekonomi kreatif. Begitu juga India lewat industri film dan musiknya.

Singapura bahkan telah mereposisi perekonomiannya dan berambisi menjadi pusat ekonomi kreatif di Asia. Pada 2005, Perdana Menteri Lee Hsien Long meluncurkan tiga gerakan nasional, yakni Design Singapore, Media 21, dan Rennaisance City 2.0.

Melalui tiga program itu, Singapura berambisi menjadikan sektor ekonomi kreatif sebagai tulung punggung pertumbuhan ekonominya dengan target kenaikan menjadi dua kali lipat dalam tujuh tahun ke depan.

Indonesia sebetulnya menyimpan potensi besar di sektor ekonomi kreatif, tetapi belum banyak disentuh oleh kebijakan dan digarap secara optimal. Sebagai bangsa yang memiliki keragaman budaya, Indonesia kaya akan warisan tradisi dan seni. Ini adalah modal dasar yang besar untuk masuk dalam kancah ekonomi kreatif global.

Di Indonesia, peranan sektor ekonomi kreatif terhadap perekonomian nasional selama ini cukup besar, khususnya dalam penciptaan lapangan kerja. Sumbangan sektor ini terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2002-2006 rata-rata Rp104,64 triliun dan menyerap 5,4 juta tenaga kerja.

Selain mempunyai kemampuan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, yang menarik adalah sebagian besar dari mereka yang bergerak di sektor ini merupakan kelompok UKM dengan produktivitas Rp19,5 juta per pekerja per tahun. Angka ini jauh di atas rata-rata produktivitas nasional sekitar Rp18 juta per tahun.

Dengan karakteristik seperti ini, pengembangan ekonomi kreatif akan menjadi sangat strategis dalam memecahkan masalah besar yakni pengangguran dan kemiskinan yang begitu tinggi.

Oleh karena itu, saat menyusun Visi 2030 dan Roadmap Industri 2010, Kadin Indonesia memasukkan sektor ini sebagai salah satu industri yang diunggulkan sebagai penggerak dan pencipta lapangan kerja serta menurunkan angka kemiskinan.

Ekonomi kreatif adalah sebuah proses peningkatan nilai tambah hasil dari eksploitasi kekayaan intelektual berupa kreativitas, keahlian, dan bakat individu menjadi produk yang dapat dikomersialkan.

Dalam buku biru yang baru diluncurkan itu, terdapat 14 subsektor ekonomi kreatif, di antaranya periklanan, kerajinan, pasar barang seni, fashion, seni pertunjukan, film, animasi, dan penerbitan.

Karakteristik unik dari ekonomi kreatif adalah fokus persaingan yang menitikberatkan pada desain produk, bukan pada harga.

Oleh karena itu, ada beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan, yaitu kemampuan desain, teknologi produksi, akses pemasaran, dan pembiayaan. Sayangnya, iklim usaha saat ini belum sepenuhnya mendukung perkembangan sektor ini, padahal potensi dan modal yang dimiliki sangat besar.

Saat ini, kita memiliki banyak desainer, arsitek, dan pekerja ekonomi kreatif yang berbakat dan tidak kalah dibandingkan dengan negara lain. Sebut saja, Castle Production di Pasar Baru, Jakarta, yang menghasilkan animasi kelas dunia Carlos the Catterpilar dan The Jim Elliot Story.

Kita juga memiliki Sibarani Sofyan, seorang urban desiner muda yang berbagai karyanya bertebaran di Malaysia, China, dan Dubai. Ada pula Christiawan Lie, komikus GI Joe, yang sedang naik daun di Amerika Serikat, atau Budi Pradono, arsitek muda, yang mendapatkan penghargaan Architectural Review.

Sinergi

Diperlukan perhatian yang lebih besar dari semua pihak agar potensi di sektor ini tidak terbuang sia-sia, sehingga kemudian dimanfaatkan negara lain.

Pemerintah perlu memanfaatkan semua potensi yang ada dengan mendorong kalangan perusahaan besar untuk mengembangkan masyarakat ekonomi kreatif di lingkungan mereka. Sekadar contoh, lomba desain aksesori kendaraan yang diselenggarakan PT Toyota Astra Motor dengan melibatkan perguruan tinggi dan memberi kesempatan kepada pemenang untuk mengaplikasikan karyanya secara komersial merupakan langkah yang patut dilanjutkan dan dikembangkan.

Untuk mengakselerasi, pemerintah seharusnya memberi perhatian lewat insentif agar semakin banyak perusahaan yang ikut berperan aktif dalam mengembangkan sektor ini melalui pola kemitraan.

Berdasarkan pengalaman Kadin Indonesia, membangun interaksi dan membina pelaku industri kreatif di sejumlah daerah, seperti di Sidoarjo dan Yogyakarta lewat pola kemitraan, merupakan cara yang sangat efektif.

Pengalaman juga menunjukkan bahwa faktor kelembagaan menjadi begitu penting, tidak hanya dalam hal pemasaran, tetapi juga dalam pengembangan desain. Selama ini, pelaku ekonomi kreatif lebih banyak bergerak secara underground dan independen.

Oleh karena itu, kita sering mendengar banyak desainer yang kebingungan mencari manufaktur yang bisa membantu mewujudkan ide brilian mereka.

Para desainer juga sering kesulitan mencari modal kerja, karena mereka ditolak perbankan. Mereka umumnya tidak memiliki aset tetap kecuali ide-ide kreatif.

Dalam kaitan kebijakan yang ada, sangat mungkin bagi pemerintah untuk memasukkan pengembangan industri kreatif dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Madani yang dikoordinasi oleh Kantor Menko Kesra.

Agar tidak kehilangan peluang, pengembangan ekonomi kreatif? harus menjadi prioritas serta terus menyempurnakan cetak biru yang ada. Hal ini di antaranya dengan memasukkan target kuantitatif. Ini sangat penting agar sasaran ke depan menjadi lebih jelas.***

Bisnis Indonesia, 16 Juni 2008

Tidak ada komentar: