Senin, 24 November 2008

ADAKAH INDUSTRI KREATIF?


Oleh Anwari WMK


Di tengah karut-marutnya perekonomian nasional, ternyata ada seorang pejabat tinggi negara yang berbicara dengan aksentuasi meyakinkan tentang segala sesuatu dalam kaitan konteks dengan industri kreatif di Indonesia. Seakan, industri kreatif bakal tumbuh dengan sendirinya berlandaskan kekuatan inovatif yang inherent dalam perekonomian nasional.

Dalam kuliah umum di Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu berbicara secara meyakinkan tentang perkembangan industri kreatif di Indonesia. Bahkan, industri kreatif yang ada saat ini dieksplisitkan sebagai bagian penting perekonomian Indonesia. Industri kreatif, menurut Menteri Perdagangan, mampu memberikan kontribusi sebesar Rp 104,6 triliun (6,3%) dari produk domestik bruto (lihat editorial, “Budaya dan Industri Kreatif” di Kompas, 8 September 2008, hlm. 6).

Ini berarti, ilmu pengetahuan dan teknologi diasumsikan telah terintegrasi dengan realitas yang ditengarai sebagai elemen fundamental pembentuk industri kreatif. Padahal, dalam kenyataan sesungguhnya, perekonomian Indonesia masih belum sepenuhnya mampu mewujudkan industri kreatif, akibat lemahnya aspek kelembagaan. Karena itu, setiap pembicaraan berkenaan dengan industri kreatif mutlak untuk ditelaah secara kritis.

Dengan outstanding pemikiran model knowledge economy, Mari Elka Pangestu menyinggung dua dimensi yang terkait erat dengan industri kreatif di Tanah Air. Pertama, industri kreatif sedemikian rupa diasumsikan berfungsi sebagai faktor yang mampu mempercepat terjadinya pengurangan jumlah penduduk miskin di Indonesia. Lantaran fleksibel menyerap lapangan kerja, industri kreatif dalam konteks ini diposisikan sebagai pilar pengentasan kemiskinan.

Kedua, perguruan tinggi atau universitas diandaikan telah memiliki kesiapan menyambut era industri kreatif. Sehingga dengan demikian, perguruan tinggi atau universitas diasumsikan benar-benar memiliki kesiapan memperkuat posisi perekonomian nasional Indonesia melalui kemunculan industri kreatif (Kompas, 6 September 2008). Sungguh pun begitu, secara substansial, kita harus hati-hati dan waspada membaca pernyataan Menteri Perdagangan itu. Sebab, boleh jadi, apa yang dikatakan Menteri Perdagangan itu hanyalah sebuah utopia atau impian yang tak memiliki kejelasan basis keunggulan.

Benar bahwa di Indonesia dewasa ini terbentuk formasi industri kreatif. Bahkan, formasi tersebut mencakup 14 subsektor industri, yaitu periklanan, arsitektur, pasar barang seni, kerajinan, desain, fashion, permainan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan piranti lunak, radio dan televisi, riset dan pengembangan, serta film, video, dan fotografi. Hanya saja, formasi industri kreatif itu, perkembangannya ke depan sangat ditentukan oleh faktor sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Ini berarti, sangat besar peran perguruan tinggi atau universitas dalam hal memasok SDM berkualitas, persis sebagaimana dibutuhkan oleh kalangan industri kreatif.

Masalahnya kemudian, benarkah perguruan tinggi atau universitas dewasa ini benar-benar berdiri sebagai avant garde terciptanya SDM berkualitas? Ataukah perguruan tinggi dan universitas malah mencetuskan kendala ke arah penguatan indusrti kreatif?

Pertanyaan ini bukan sesuatu yang mengada-ada. Tak pelak lagi, inilah dua pertanyaan yang bersifat kritikal. Dalam kenyataan sesungguhnya di lapangan, perguruan tinggi atau universitas sesungguhnya belum sepenuhnya siap berperan sebagai pilar pendukung untuk menciptakan keunggulan kompetitif bagi industri kreatif. Ini karena, universitas sendiri terbentur masalah internal saat diharapkan mampu mendukung penguatan industri kreatif. Sebuah pemberitaan menyebutkan, bahwa 60 ribu dari 120 ribu dosen (50,65%) di berbagai universitas di Indonesia tidak layak mengajar, karena belum memenuhi standar kompetensi sebagai pengajar tingkat universitas (Seputar Indonesia, 4 September 2008, hlm. 5). Tragisnya lagi, dosen-dosen yang tak berkualitas itu kemampuan akademiknya setara dengan guru Sekolah Dasar atau SD (Seputar Indonesia, 5 September 2008, hlm. 5).

Dengan latar belakang persoalan ini timbul pertanyaan yang bersifat menggugat: bagaimana mungkin dengan jebloknya kualitas dosen semacam itu universitas mampu menjadi basis tegaknya industri kreatif di Indonesia?

Pada satu sisi, memang sudah saatnya bagi Indonesia mengembangkan industri kreatif. Kekayaan budaya dan kemajemukan penduduk merupakan realisme yang dapat dikembangkan lebih lanjut untuk menciptakan keunggulan ekonomi melalui kehadiran industri kreatif. Tapi di lain sisi, Indonesia berhadapan dengan masalah institusionalisasi pengembangan SDM berkualitas. Potensi industri kreatif, dengan sendirinya, ditelikung oleh rendahnya kualitas SDM, akibat lemahnya universitas. Dengan demikian pula arah pengembangan industri kreatif ke depan tidak harus bergantung pada kemampuan universitas dalam hal menghasilkan SDM berkualitas. Dengan kata lain, niscaya bagi industri kreatif untuk menemukan SDM berkualitas dari luar kelembagaan universitas.

Apa yang disebut “komunitas kreatif” dan “jenius lokal” sudah saatnya untuk diperhatikan secara saksama sebagai pilar pendukung kemajuan industri kreatif . Hal mendasar yang patut digaris bawahi dalam konteks ini ialah “komunitas kreatif” dan “jenius lokal” diandaikan sebagai suplemen atau pengganti SDM berkualitas yang tak sepenuhnya dapat dipasok oleh kelembagaan universitas. Tanpa bermaksud melecehkan peran penting universitas, apa boleh buat, harus dikatakan dengan tegas sejak sekarang, bahwa komunitas kreatif dan jenius lokal itulah yang menjadi tumpuan harapan mewujudkan industri kreatif di Indonesia.

Apa yang dimaksud dengan komunitas kreatif ialah terbentuknya kesadaran kolektif yang melibatkan sekelompok orang untuk menghasilkan jasa dan komoditas yang sepenuhnya berpijak pada inovasi dan kreatifitas. Komunitas seperti ini muncul di banyak tempat di Indonesia, terutama di wilayah-wilayah tujuan wisata, seperti Yogyakarta dan Bali. Di kawasan-kawasan inilah industri kreatif menemukan tempat persemaian secara subur. Jenius lokal yang dimaksudkan adalah bakat-bakat perorangan yang mampu menciptakan kreasi-kreasi unik dan layak dikembangkan sebagai industri.

Baik industri periklanan, penerbitan dan lain-lain, sangat mungkin dipenuhi oleh para jenius lokal. Mengingat para jenius lokal ini lebih mengandalkan bakat ketimbang formalitas, maka harus ada upaya pemetaan terhadap keberadaan mereka. Hal minimal yang harus ada ialah mempermudah terjadinya integrasi para jenius lokal ke dalam totalitas gerak dinamik industri kreatif.

Sungguh pun demikian, tetap harus ada pengakuan secara jujur, bahwa pihak universitas yang paling relevan mempersiapkan SDM berkualitas demi memajukan industri kreatif. Penjelasan serba sekilas terhadap komunitas kreatif dan jenius lokal di atas sepenuhnya bertitik tolak dari posisi universitas yang sejauh ini tidak ideal. Artinya, ada kebutuhan yang sangat besar bagi bangsa ini untuk melakukan revitalisasi peran universitas. Agenda pokok dari revitalisasi itu adalah terciptanya universitas riset di Indonesia. Inilah model universitas yang mampu melakukan upaya utilisasi ilmu pengetahuan untuk kemajuan ekonomi dan sosial (lihat Anwari WMK, UGM: Menuju Universitas Penelitian, Jakarta: Khanata-Pustaka LP3ES Indonesia, 2006, hlm. 80-105).

Dengan demikian, jelas sudah duduk perkara industri kreatif. Bahwa, eksitensi dan kontinuitas industri kreatif dalam realitas Indonesia dideterminasi oleh ada tidaknya kontribusi universitas. Hal lain di luar universitas yang berperan memasok SDM ke arah penguatan industri kreatif hanyalah elemen yang bekerja secara ad hoc. Sayangnya, kita masih harus menunggu waktu tuntasnya revitalisasi universitas. Kapan revitalisasi itu dimulai? Atau sama sekali tak pernah dimulai?

Sumber: analisis-berita.com

Tidak ada komentar: