Oleh Dhorifi Zumar
Secara definitif, ekonomi kreatif yang dipopulerkan John Howkins dalam bukunya The Creative Economy: How People Make Money From Ideas itu dapat diartikan sebagai segala kegiatan ekonomi yang menjadikan kreativitas (kekayaan intelektual), budaya dan warisan budaya maupun lingkungan sebagai tumpuan masa depan.
Sementara industri kreatif adalah industri-industri yang berbasis kreativitas, keterampilan, dan talenta yang memiliki potensi peningkatan kesejahteraan serta penciptaan lapangan kerja dengan cara menciptakan dan mengeksploitasi HaKI (hak atas kekayaan intelektual). Jika dianalogikan maka ekonomi kreatif adalah kandangnya, sedangkan industri kreatif adalah binatangnya.
Ekonomi kreatif yang merupakan gelombang keempat peradaban manusia memiliki 14 sub sektor industri, yaitu periklanan (advertising), arsitektur, pasar seni dan barang antik, kerajinan, desain, fashion, video/film/animasi/fotografi, game, musik, seni pertunjukan (showbiz), penerbitan/percetakan, software, televisi/radio (broadcasting), dan riset & pengembangan (R&D).
Saat ini industri kreatif di dunia tumbuh dengan pesat seperti tercermin dari nilai ekonomi kreatif global yang diperkirakan dengan tingkat pertumbuhan 5% per tahun, akan berkembang dari US$ 2,2 triliun pada Januari 2000 menjadi US$ 6,1 triliun tahun 2020.
Di Indonesia industri kreatif telah memiliki kontribusi yang sangat besar. Menurut data Departemen Perdagangan, pada tahun 2006 ia menyumbangkan Rp 104,4 triliun, atau berperan rata-rata 4,75% di periode 2002-2006 dalam produk domestik bruto (PDB) nasional. Jumlah ini melebihi sumbangan yang diberikan oleh sektor listrik, gas dan air bersih. Tiga sub sektor yang memberikan kontribusi paling besar terhadap PDB nasional adalah fesyen 30%, kerajinan 23% dan periklanan 18%.
Selain itu, sektor ini mampu menyerap 4,5 juta tenaga kerja dengan tingkat pertumbuhan sebesar 17,6% di tahun 2006. Ini jauh melebihi tingkat pertumbuhan tenaga kerja nasional yang hanya sebesar 0,54%. Namun ia baru memberikan kontribusi ekspor sebesar 7%, padahal di negara-negara lain, seperti Korsel, Inggris dan Singapura, rata-rata di atas 30%.
Di komunitas pesantren sendiri ekonomi kreatif sudah lama ada meski mereka belum menyadari bahwa aktivitas ekonomi yang mereka lakukan masuk kategori ekonomi kreatif. Contohnya adalah aktivitas produksi/penulisan buku-buku pelajaran kurikulum pesantren (penerbitan/percetakan); produksi seragam, kaos maupun baju santri (fashion); pementasan drama, tari, deklamasi, dan pembacaan puisi/sajak (seni pertunjukan); produksi karya seni rupa semisal kaligrafi (pasar seni/barang antik); pertunjukan musik dan lagu; game online, serta seni desain.
Bahkan di beberapa pesantren, seperti di sebuah pesantren di Garut dan Makassar, salah seorang santrinya berhasil membuat sebuah film independen dan sukses memenangkan festival film independen yang diselenggarakan stasiun televisi swasta di Jakarta. Begitu pula pesantren Darut Tauhid Bandung telah memiliki stasiun radio dan televisi. Artinya bahwa industri film dan penyiaran (broadcasting) telah merambah pondok pesantren.
Dengan ilustrasi di atas dapat ditarik benang merah bahwa ekonomi kreatif sejatinya telah lama tumbuh dan berkembang di lingkungan pesantren. Ini berarti pesantren memiliki potensi besar untuk mengembangkan dan menggerakkan ekonomi kreatif yang saat ini tengah digalakkan oleh pemerintah.
Pemerintah menargetkan pertumbuhan industri kreatif dalam 5-8 tahun ke depan akan dapat menyumbang 10% dari PDB. Untuk mencapai target itu, pemerintah sedang membuat beberapa langkah. Pertama, membuat roadmap industri kreatif yang melibatkan berbagai departemen dan kalangan seperti seniman serta perajin.
Kedua, membuat program komprehensif untuk menggerakkan industri kreatif melalui pendidikan, pengembangan SDM (Sumber Daya Manusia), desain, mutu dan pengembangan pasar. Dan ketiga, akan memberikan perlindungan hukum dan insentif bagi karya industri kreatif.
Dengan sumber daya alam
Majalah Gontor, edisi 06/Tahun VI/Oktober 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar